Oleh M. Reynaldhy Kegart
Pada
zaman sekarang musik hampir diputar di setiap tempat, seperti di cafe,
restoran, mall baik sebagai sarana hiburan atau untuk menarik perhatian. Hal
ini menjadikan industri musik menjadi industri yang cukup menjanjikan, sehingga
akan memacu para pencipta lagu untuk terus berkreativitas dan berkarya
mengeluarkan single atau album baru.
Namun
disayangkan begitu banyaknya kasus pelanggaran hak cipta dalam industri musik yang
terjadi di Indonesia, seperti plagiat dan pembajakan yang tentu saja sangat
merugikan para pencipta lagu. Salah satu contohnya seperti Lagu berjudul Akad
dari band Payung Teduh. Seiring dengan keterkenalannya, sejumlah orang
menyanyikan ulang (meng-cover) lagu
tersebut. Namun, ternyata sejumlah pihak telah melakukan pelanggaran atas hak
cipta lagu itu, karena cover version yang
dibuat bertujuan komersial atau dengan kata lain menjual rekaman nyanyian ulang
mereka atas lagu tersebut tanpa seizin dari pihak Payung Teduh dan pihak Payung
Teduh merasa keberatan atas hal tersebut.
Istilah
hak cipta itu sendiri diusulkan pertama kalinya oleh Prof. St. Moh. Syah, S.H.
pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 (yang kemudian diterima oleh
Kongres tersebut) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang
luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang tersebut merupaan terjemahan
dari istilah bahasa Belanda Auteurs Recht.
Menurut
Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak
eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam
Pejelasan Pasal 4 UUHC, Hak ekslusif adalah hak yang semata-mata diperuntukan
bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memfaatkan hak
tersebut tanpa seizin pemegangnya. Hak ekslusif terdiri dari hak moral dan hak
ekonomi .
Berdasarkan
Pasal 8 UUHC jo Pasal 9 UUHC Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Diantaranya:
a.
penerbitan Ciptaan;
b.
Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c.
penerjemahan Ciptaan;
d.
pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
e.
Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f.
pertunjukan Ciptaan;
g.
Pengumuman Ciptaan;
h.
Komunikasi Ciptaan; dan
i.
penyewaan Ciptaan.
Cover version
merupakan hasil reproduksi atau membawakan ulang sebuah lagu yang sebelumnya
pernah direkam dan dibawakan penyanyi/artis lain dengan cara yang berbeda. Jika
dikaitkan dengan unsur-unsur hak ekonomi dalam Pasal 9, tindakan meng-cover ini termasuk dalam kualifikasi pengadaptasian,
pengaransemenan, dan pentransformasian ciptaan, seperti pada Pasal 9 huruf d.
Oleh karena itu, lagu-lagu cover yang
diciptakan, apalagi untuk tujuan komersial, pencantuman nama penyanyi asli
dan/atau pencipta lagu saja pada karya cover
tentu tidak cukup untuk menghindari tuntutan hukum pemegang hak cipta. Apabila
ingin menikmati hak ekonomi atas suatu ciptaan orang lain agar tidak melanggar
hak cipta, maka perlu memperoleh izin (lisensi) dari pencipta/pemegang hak
cipta.
Menurut
Pasal 1 angka 20 UU 28 Tahun 2014, Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan
oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk
melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat
tertentu.
Jika
terjadi pelanggaran atas hak ekonomi, orang yang melanggar Pasal 9 UUHC diancam
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 UUHC:
(1)
Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2)
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan
demikian, setiap orang yang meng-cover lagu
orang lain tanpa seizin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan tujuan
komersial diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Namun,
pihak yang meng-cover ini masih bisa
bernafas lega karena menurut Pasal 120 UUHC tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini merupakan delik aduan. Jadi, ketika Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta tidak melakukan aduan terhadap kasus pelanggaran Hak Cipta
yang terkualifikasi tindak pidana ke pada pihak yang berwajib, maka kasus
tersebut tidak bisa di proses menurut hukum.
Dasar Hukum : UU NO. 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta
Referensi : Ajip Rosidi, Undang-Undang Hak Cipta 1982, Pandangan
Seorang Awam, Jakarta, Djambatan, 1984
terimakasih infonya sangat menarik, kunjungi web kami http://bit.ly/2NNBmDX
BalasHapus