Film “Law Abiding Citizen”
berkisah tentang pembantaian terhadap keluarga Clyde Shelton. Istri dan anaknya
dibunuh secara sadis. Dua pelaku pembunuhan itu -Clarence Darby dan Rupert
Ames- akhirnya tertangkap dan dibawa ke meja hijau.
Darby adalah pelaku utama (deder) yang menikam pisau ke tubuh Clyde
dan istrinya lalu membunuh anaknya sedangkan Ames hanya berperan sebagai medepleger
(turut serta). Kasus ini ditangani oleh jaksa penuntut umum yang
sedang naik daun, Nick Rice.
Rice kesulitan untuk mendapat bukti
yang kuat untuk menjerat kedua pelaku tersebut dalam menangani kasus ini. Rice
pun terpaksa melakukan bargaining dengan salah seorang terdakwa yaitu
Darby karena jika tidak kedua tersangka mungkin akan bebas karena minimnya
barang bukti (Hanya ada kesaksian dari Clyde namun saat ditemukan polisi dia
dalam keadaan pingsan sehingga kesaksinnya diragukan, hal ini pun terkait
dengan asas ‘satu saksi bukan saksi’ dalam hukum pidana). Berkas perkara Darby
dan Ames memang dipisah dalam persidangan. Darby didaulat menjadi saksi mahkota
(Justice Collaborator) dalam berkas
perkara Ames. Alhasil, Ames dijatuhi vonis hukuman mati. Sedangkan Darby hanya
divonis lima tahun penjara.
Dalam sebuah penanganan perkara, penggunaan saksi mahkota memang kerap dilakukan. Bila ada
dua terdakwa atau lebih yang melakukan pembunuhan, berkas perkaranya dipisah dalam persidangan. Tujuannya agar
masing-masing terdakwa 'diadu' untuk memberikan pengakuan dan kesaksian yang
memberatkan satu sama lain. Inilah konsep saksi mahkota.
Praktik ini diikuti dengan plea bargain, yakni jaksa memberi tuntutan
hukuman yang ringan bagi terdakwa yang berperan sebagai saksi mahkota. Praktik plea
bargain memang sangat dikenal dalam criminal justice system
di Amerika Serikat.
Clyde tentu saja kecewa berat dengan
hasil sidang pengadilan. Pasalnya, ia melihat dengan jelas bagaimana Darby
menikam istri dan anaknya hingga tewas. Namun, hukuman yang diterima Darby
hanya lima tahun penjara. Ia juga sangat kecewa dengan tindakan Rice karena
sudah berulangkali diingatkan agar tidak melakukan bargaining dengan
terdakwa.
Namun, Rice justru memberi alasan
yang membuat miris dunia peradilan. “Beginilah sistem hukum dan peradilan kita
bekerja,” ujar Rice. Ia beralasan, bila bargaining tidak dilakukan maka
dua terdakwa justru akan divonis bebas. Meski Clyde yakin Darby melakulan
pembunuhan, tetapi bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membuktikan itu.
Clyde harus menerima kenyataan bahwa hukum adalah pembuktian di ruang sidang.
Film ini semakin seru saat mengambil
latar kejadian 10 tahun setelah penjatuhan vonis tersebut. Clyde mulai
merancang sebuah peradilan jalanan sebagai ajang balas dendam. Darby dibunuh
secara sadis. Tubuhnya dimutilasi hingga menjadi 25 bagian. Namun, ia
melakukannya tanpa meninggalkan bukti apapun.
Waktu 10 tahun memang digunakan Clyde
yang seorang insinyur untuk belajar hukum. Buku anotasi putusan-putusan
Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat pun ia santap. Ia tahu betul hak-hak yang
dimilikinya bila kelak menjadi tersangka atau pun terdakwa. Dan yang lebih
penting lagi, ia paham bahwa terdakwa baru bisa divonis bersalah bila terdapat
bukti-bukti yang cukup kuat. Clyde pun sangat tenang saat ditetapkan sebagai
terdakwa. Rice kembali menjadi jaksa penuntut umum untuk kasus ini.
Clyde memang ditahan selama proses
pemeriksaan. Namun, itu tak mengurungkan niatnya untuk terus melakukan
pembunuhan. Sejumlah orang yang dianggapnya terlibat dalam penjatuhan vonis
ringan terhadap pembunuh istri dan anaknya satu persatu mati terbunuh. Clyde
memang cukup cerdas melakukan semua itu dari dalam tahanan. Karenanya, salah
satu tagline film ini adalah “How do you stop a killer who is already behind
bars?”
Rice yang menjadi pemegang kunci
tanggung jawab terhadap serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Clyde terus
berupaya agar dapat menghentikan aksi pembunuhan itu. Batas
kabur antara kejahatan dan kebaikan memang seringkali diangkat menjadi tema
utama sebuah film. Karena walau bagaimanapun, good vs evil merupakan suatu hal
yang sangat manusiawi. Semua orang memiliki kedua sisi tersebut dalam setiap
tingkah lakunya. Kecintaan Clyde terhadap keluarga yang yang tewas karena
dibunuh kemudian menumbuhkan rasa keinginan yang kuat untuk memperbaiki sistem
peradilan yang ada. Batas good vs evil
ini kemudian menjadi kabur ketika perbuatan itu dianggap benar oleh Clyde
Apa pun endingnya, film ini
memang sangat layak ditonton oleh masyarakat hukum sebagai sebuah kritikan
terhadap sistem dan praktek peradilan. Terlebih lagi terhadap mereka yang berprofesi sebagai jaksa penuntut umum yang
kerap menggunakan saksi mahkota dan praktik plea bargain dalam
mengungkapkan sebuah kasus.
Uniknya, di akhir film ini, Rice
yang digambarkan sebagai jaksa yang cerdas mengaku kapok melakukan plea bargain
dalam kasus pembunuhan. “Jangan pernah melakukan bargain dengan pembunuh!” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar