Oleh : Wahyudi Prawiro Utomo
Topik ini muncul terkait dengan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 mengenai pembatalan seluruh ketentuan dalam
UU Nomor 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan menyatakan undang-undang
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon dalam perakara ini
adalah beberapa badan hukum dan perorangan. Mereka menuntut agar beberapa pasal
dalam undang-undang tersebut di batalkan karena dinilai membuka peluang yang
sangat besar bagi pihak swasta untuk mengelola sumber daya air yang kemudian
dapat didistribusikan kepada masyarakat.
Diperlukan suatu pemahaman mengenai pengelolaan sumber
daya air oleh swasta. Yang pertama hakikat dari sumber daya air itu sendiri,
dimana air merupakan kebutuhan mendasar bagi menusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Oleh karena itu air penting sekali bagi pemenuhan hak hidupsetiap
manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa air termasuk dalam pengertian
agraria, seperti dalam Pasal 1 ayat (2)
UUPA:
“Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Repunlik
Indonesiasebagai karunia Tuhan Yang Maha esa adalah bumi air, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional.”
Hal tersebut memperlihatkan bahwa air merupakan
kekayaan nasional milik bangsa Indonesia. Kemudian apabila kita mengkaitkan
dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang mengandung makna bahwa seluruh kekayaan
bangsa Indonesia harus dipergunkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Terkait dengan pembatalan MK mengenai UU No. 7 Tahun
2004, bahwa sebelumnya swasta diberikan ruang untuk mengelola pemanfatan air,
mulai dari tahap produksi, distribusi, dan konsumsi. Dimana tahap produksi ini
swasta akan mengambil air dari sumber mata air atau dari tanah untuk dikelola
menjadi air minum dalam kemasan atau didistribusikan kerumah-rumah warga untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. Serta dalam proses pelaksanan produksi dan
distribusi air, pihak swasta juga menjadi konsumen untuk pemenuhan sumber daya
manusia yang dapat bekerja dengan baik.
Swasta sebagai pelaku usaha merupakan badan hukum,
yang modalnya bersumber dari penanam modal nasional dan/atau penanam modal
asing. Maka perusahaan swasta yang mengelola pemanfatan air di Indonesia adalah
badan hukum yang terdaftar sesuai ketentuan hukum Indonesia, yang penguasaan
modalnya oleh penamam modal nasional atau penaman modal asing.
Objek usaha dari pelaku usaha merupakan komoditas yang
dapat diperjualbelikan. Dalam kasus ini merupakan air sebagai komoditas utama
perusahaan air. Prinsip dari pelaku usaha adalah mendapatkan keuntungan dari
hasil objek usahanya. Hal inilah yang menjadi permasalahan, dimana perusahaan
air akan mendistribusikan air kepada daerah yang kiranya dapat membayar biaya-biaya untuk pelancaran
distribusi air. Tentunya akan berdampak bagi daerah susah air, ia harus
membayar sejumlah biaya agar dapat air mengalir kedaerahnya. Serta bagi daerah
yang tidak mampu membayar biayanya bisa jadi tidak mendapatkan pendistribusia
air. Telah terjadi banyak kasus yang menunjukan hal tersebut.
Jika kita kaji dengan perilaku pelaku usaha, maka swasta yang dalam hal ini adalah
badan hukum yang menghendaki keuntungan (profit oriented) tentunya akan
mendistribusikan air untuk mendapat keuntungan dari hal tersebut. Terdapat
suatu perbedaan dengan esensi dari air itu sendiri. Dimana air merupakan
kebutuhan dasar bagi seluruh mahluk untuk dapat dihidup. Disini hakikat air
sebagai kebutuhan mendasar setiap orang dan merupakan milik siapa saja yang
membutuhkan (res commune). Setiap
orang harus dapat mendapatkan air secara berkeadilan baik yang miskin atau yang
kaya, baik yang daerah dengan sumber air banyak atau yang sumber air sedikit.
Dengan semngat nasionalisasi, kehendak putusan mk agar
perusahaan pemerintah yang mengelola pemanfatan air. Namun dalam kenyataannya
hasil pengelolaan air oleh pihak swasta lebih besar dari pada pihak pemerintah
(data Kompas). Tentu menjadi paradoks
dimana dengan pemerintah dengan hasil pengelolaan air yang lebih sedikit
dibanding swasta. Dimana perusahaan pemerintah berorientasi public service dan
swasta berorientasi profit. Dibutuhkan suatu dukungan yang kuat bagi pemerintah
untuk memenuhi inftrasturktur demi tercapainya pendistribusia air secara berkeadilan.
Tentunya dengan meilihat hal ini, pihak swasta juga dapat berperan besar karena
memiliki sumber daya manusia dan alat produksi yang lebih baik dari pemerintah.
Dibutuhkan suatu kebijakan yang ketat agar perusahaan swasta tetap berperan
untuk mengelola air, karena untk saat ini pemerintah belum mampu memenuhi
kebutuhan air seluruh masyarakat. Mengingat ketua MK menyatakan swasta tetap
dapat berperan dalam pengelolaan air apabila ada sisa kewenangan dari
pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Titik Perdebatan
Terdapat beberapa hal yang bertentangan dalam topik
ini, yaitu nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia dengan realita yang
terjadi dalam masyarakat. Terkait dengan putusan MK, bahwa UU Nomor 7 Tahun
2004 terlalu liberal, yang menyebabkan pendistribusian air menjadi tidak adil.
Namun dibutuhkan juga peran swasta karena publik
membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Dibawah pengelolaam pemerintah daerah
melayani sekitar 10 juta sambungan rumah atau setara dengan 60 juta orang atau
25 persen dari total penduduk. Dari sisi volume, itu setara dengan 3,2 miliar
liter air pada tahun 2013. Bandingkan dengan volume penjualan air minum dalam
kemasan milik swasta yang mencapai 20,3 miliar liter (2013). Tahun 2014,
volumenya naik menjadi 23,9 miliar liter air (kompas). Hal ini yang menjadi
keraguan apakah pemda dapat memenuhi seluruh kebutuhan air bagi masyarakatnya.
Tujuan dari pemanfatan air ini adalah untuk dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat seluas-luasnya dengan jumlah yang cukup. Agar
masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan ke akses air bersih untuk dikonsumsi,
diperlukan pendistribusian air secara baik dan berkeadilan. Seringkali dalam
pendistribusian terjadi masalah, seperti yang terjadi di beberapa daerah.
Swasta sebenarnya dalam hal ini dapat berperan dalam
membantu pemda untuk melakukan pendistribusia air dengan baik. Salah satunya
dengan peran swasta untuk mendistribusikan air yang telah diproduksi. Esensi
yang harus ditekankan dari distribusi ini adalah untuk pemerataan, bukan untuk
penyeluran kepelanggan yang mampu membayar. Tentunya ini terkait dengan
perbedaan prinsip public service dan profit oriented. Untuk mengetahui lebih
lanjut kita akan meninjau dari perilaku para subjek hukum yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya air.
Perilaku swasta
Swasta dalam hal ini adalah badan hukum yang berdiri
sesuai dengan hukum Indonesia. Dimana penguasaan modalnya dapt dikuasai oleh
penanam modal local atau penanam modal asing. Tetapi untuk usaha air minum,
kepemilikan sahamnya tidak boleh dimiliki penuh oleh asing (pasal 6 UUPMA).
Pada sector pengelolaan air, para pengusaha
mendapatkan hak guna usaha dalam memanfatkan air. Mereka melakukan pengambilan
air dari sumber mata air (atau tanah). Penggunaan kekuatan sektor swasta dapat
dibilang cemerlang, karena dapat mengambil air dengan jumlah yang besar dengan
teknologi yang lebih baik dari pemda (cari data dari aqua, ades dsb). Kemampuan
perusahan air mineral ini mampu memproduksi jumlah air minum dengan kapasitas
yang besar. Lebih besar dari produksi pemda yang tidak hanya untuk air konsumsi
minum, juga untuk semua kebutuhan yang membutuhkan air. Namun harga yang
ditetapkan swasta untuk menjual air mineral tersebut tergantung atas kebijakan
dari perusahan itu sendiri.
Penetapan harga air minum ini berdasarkan perhitungan
untung rugi dari perusahan terkait. Contoh paling mudah yang menunjukan hal ini
adalah harga air minum dalam kemasan yang
berbeda-beda. Tentu ini menunjukan kebijakan tiap perusahaan air minum
yang berbeda-beda untuk tiap produk. Secara implicit dapat terlihat bahwa
penetapan harga air minum dalam kemasan hasil produksi perusahaan swasta,
memiliki kebebasan untuk mentapkan harga.
Memang dalam praktiknya terjadi liberalisasi.
Penentuan harga air minum dalam kemasan ditetapkan oleh pasar. Harga air minum
yang seperti demikian dapat memberikan keuntungan yang berlimpah bagi
perusahaan, namun bagaimana apa bila harga air minum memberatkan warga negara?
Pelaku usaha menjadikan air sebagai komoditas usaha,
dengan menjadikan air sebagai objek usaha untuk mendapat keuntungan. Dalam hal
ini prinsip yang digunakan adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Maka apabila ada pihak yang kekurangan air
dan tidak mampu membayar jasa pendistribusiannya, tidak air yang
didistribusikan kepadanya.
Sedangkan air adalah kebutuhan semua orang, bahkan ada
daerah yang airnya tanahnya kering karena diambil oleh pelaku usaha. Memang
tidak ada salahnya untuk pelaku usaha memanfatkan air untuk kegiatan ekonomi,
namun yang erlu ditekankan adalah prinsip keadilan dalam memanfatkan sumberdaya
air ini. dan dalam praktik yang telah terjadi akhir-akhir ini, banyak sekali
hal yang menunjukan ketidakadilan dalam distribusi air. Seperti instalasi pipa,
pendistribusian air kerumah warga yang membayar, dan penatapan harga air minum
yang diserahkan oleh pasar.
Dengan UU No. 7 Tahun 2004 diundangkan memang
diberikan keleluasaan bagi swasta untuk mengelola air tersebut. Dengan di
nyatakannya UU No. 7 Tahun 2004 tidak berlaku maka PP serta Peraturan
perundang-undangan lainnya yang ada dibawahnya tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Segala kegiatan ekonomi yang berdasar pada UU tersebut menjadi tidak
meiliki kepastian hukum. Walaupun UU nomor 11 tahun 1974 dinyatakan berlaku
kembali untuk mengisi kekosongan hukum dalam bidang perairan, namun belum ada
peraturan teknisnya untuk menjadi dasar bagi berjalannya kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh swasta. Tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha untuk
saat ini. Ketua Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arif Hidayat menyatakan bahwa swasta
masih tetap dapat berperan untuk mengelola pemanfatan air, namun apabila itu
merupakan sisa kewenangan dari pemda.
Perilaku
Pemerintah Daerah
Menurut data kompas, penyediaan air untuk konsumsi
masyarakat sekitar 10 juta sambungan
rumah atau setara dengan 60 juta orang atau 25 persen dari total penduduk.
Tentu belum meliputi keseluruhan dari 100 persen penduduk Indonesia.
Pembangunan infrastruktur air harus lebih ditingkatkan agar pemenuhan air dapat
terpenuhi. Karena dengan putusan MK ini menunjukan bahwa pemerintah dalam hal
ini daerah, harus melakukan peningkatan-penginkatan infrastuktur.
Terjadinya perubahan secara besar-besaran dalam sector
sumber daya air. Dengan adanya putusan ini maka perusahan-perusahan air swasta
harus melakukan renegosiasi dalam pemanfatan sumber daya air. Pada tgl 30 Maret
2015, pengadilan Jakarta pusat menjatuhkan putusan yang isinya adalah
pembatalan perjanjian kerjasama antara swasta dan pemerintah untuk mengelola
sumber daya air. Gugatan diajukan oleh koalisi masyarakat dari beberapa LSM
secara citizen law suit. Ini
menunjukan kehendak masyarakat untuk menolak privatisasi air.
Menjadi tugas bagi pemerintah, ditingkat pusat
harus membuat UU baru pengganti UU No. 7
Tahun 2004 yang dibatalkan MK, yang intinya harus mengedepankan semangat
nasionalisme dan ideology kerakyatan
yang berkeadilan. Artinya pemanfatan air unuk kegiatan ekonomi dari proses
produksi, distribusi dan konsumsi harus menegdepankan prinsip bahwa air adalah
kebutuhan dasar setiap orang. Jadi tidak lagi ke profit oriented. Jangan memberikan celah sedikit pun untuk
liberalisasi air, dan bahkan jangan sampai air dijadikan komoditas untuk
diperjual belikan.
Kemudian dalam implementasinya mengikut sertakan pemerintah
daerah dengan mekanisme desentralisasi. Pemerintah pusat yang haikatnya
memiliki seluruh urusan pemerintahan ikut bertanggung jawab dalam pemenuhan air
bagi masyarakat. Mengingat urusan Pemerintahan merupakan kekuasaan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian
negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi,
melayani,memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar