Oleh : Bangkit Angga Permana
Pembatalan
perkawinan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk sebuah putusnya
perkawinan. Pembatalan perkawinan tersebut diatur dalam Bab IV UU No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mulai Pasal 22 s/d Pasal 28 jo. Bab XI Inpres
No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam mulai Pasal 70 s/d 76. Pembatalan
perkawinan dapat dilakukan apabila dalam perkawinan tersebut para pihak tidak
memenuhi syarat. Dari kalimat tersebut muncul beberapa pendapat, apabila
pembatalan perkawinan itu “dapat” dilakukan berarti bahwa pembatalan perkawinan
itu bukanlah hal yang wajib dilakukan apabila dalam perkawinan tidak
terpenuhinya syarat-syarat yang harus ada. Namun yang akan dibahas dalam esai
kali ini adalah bagaimana status orang yang telah membatalkan perkawinannya.
Logika
sistemnya adalah seorang wanita dan seorang pria melakukan perkawinan dan
setelah itu diputus perkawinannya dengan jalan pembatalan perkawinan karena
tidak memenuhi syarat perkawinan, secara formil syarat perkawinan meliputi
perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat nikah yang tak berwenang;
wali nikah yang tidak sah; perkawinan tanpa dihadiri dua orang saksi; dll. Di
samping itu, seorang suami atau istri dapat membatalkan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman atau pemaksaan; atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri. Bagaimana statusnya setelah itu? Janda dan Duda
atau Gadis dan Perjaka? Karena logikanya ketika adanya pembatalan maka
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Permasalahan berikutnya adalah,
bagaimana ketika selama perkawinan tersebut sudah memiliki anak?
Esai yang
ditulis secara singkat ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
tertera diatas. Pembatalan perkawinan bukanlah pereraian maka akibat hukumnya,
wanita tidak menjadi janda. Dengan logikanya adalah perkawinan merupakan sebuah
perjanjian dan menurut pasal 1320 KUHPdt ada syarat sahnya perjanjian, antara
lain :
1.
Cakap
2.
Sepakat
3.
Atas
hal tertentu
4.
Sebab
yang halal
Cakap dan sepakat merupakan syarat yang
melekat pada subjektif manusia sedangkan atas hal tertentu dan sebab yang halal
adalah syarat yang harus dipenuhi melihat objeknya. Selanjutnya dilihat dari
sebuah perkawinan apabila syarat perkawinan tidak dilengkapi atau tidak
memenuhi maka perkawinan dianggap tidak pernah ada. Hal tersebut juga
dikemukakan oleh Zuma seorang pengacara dan seorang pendiri situs pranikah,
pernyataan tersebut juga diperkuat oleh Ade Novita, S.H. bahwa perkawinan yang
pernah terjadi namun dikemudian hari terjadi pembatalan perkawinan, maka perkawinan
dianggap tidak pernah ada dan status orang tersebut kembali seperti sebelumnya,
single.
Pertanyaan pertama telah terjawab, yaitu
perkawinan yang terputus akibat adanya pembatalan perkawinan adalah dianggap
tidak pernah ada dan status dari masing masing pihak kembali seperti
sebelumnya, bukanlah janda ataupun duda. Lalu bagaimana ketika selama
perkawinan telah lahir seorang anak? Ade Novita, SH pun menyatakan bahwa anak
atau buah hati statusnya tetap sama, ialah anak sah dari ayahnya dan anak sah
pula dari ibunya dan ia tetap memiliki hak-haknya sebagai anak yang sah
diantaranya ada biaya-biaya serta waris, hal itu pula tercantum dalam Pasal 28
UU No. 1 Tahun 1974.
Dari penjabaran diatas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa ketika terjadi pembatalan perkawinan pihak-pihak yang
sebelumnya terikat dalam sucinya ikatan perkawinan tidaklah menjadi janda
ataupun duda dikarenakan perkawinan itu tidak sah akibat tidak terpenuhinya
syarat formil dan perkawinan dianggapp tidak pernah ada, dan untuk melindungi
hak dari buah hati yang telah lahir maka UU No. 1 Tahun 11974 pasal 28
mengaturnya agar si buah hati tetap mendapatkan haknya sebagai anak yang sah.
Saya mau bertanya saya mempunyai suami dan seorang anak. Pernikahan kami hampir 5 tahun dan saya baru tahu suami saya seorang hiperseks dan biseksual karena selama ini saya tahunya dia laki-laki normal. Apakah pernikahan kami bisa dibatalkan?
BalasHapus