Oleh:
Cipto Prayitno[1]
Hukum
sebagaimana adalah gejala sosial yang ter-konstitusi akibat adanya masyarakat
mempunyai fungsi. Fungsi yang demikian adalah merupakan hasil dari munculnya
hukum didalam masyarakat (gejala sosial) yang memberikan kedudukan hukum
didalam masyarakat. Salah satu fungsi hukum didalam masyarakat adalah hukum
sebagai alat kontrol sosial (law as a
tool of social control) atau yang selanjutnya disebut social control dan hukum sebagai alat perekayasa masyarakat (law as a tool of social enginering) atau
yang selanjutnya disebut social
enginering.
Fungsi Hukum sebagai Akibat
Kedudukan Hukum didalam Masyarakat
Berbicara
mengenai fungsi hukum baik hukum sebagai social
control maupun hukum sebagai social
enginering adalah tidak terlepas dari pembicaraan mengenai kedudukan dan
hubungan hukum itu sendiri dengan masyarakat sebagai pengkonstitusi adanya
hukum. Karena betapa-pun besar fungsi hukum didalam masyarakat, hukum sendiri
tidak akan pernah ada jika tidak ada yang disebut masyarakat (masyarakat
mengkonstitusi hukum), hal tersebut-pun diamini oleh Cicero dengan adagium-nya ubi societas ibi ius (dimana ada
masyarakat disitu ada hukum). Sehingga dalam pembicaraan mengenai fungsi hukum
disini akan selalu diakaitkan dengan masyarakat sebagai peng-konstitusi-nya.
Seperti
telah dikemukakan diatas, mengenai fungsi hukum (baik hukum sebagai social control maupun hukum sebagai social enginering) didalam masyarakat
sebenarnya adalah sebagai akibat adanya kedudukan hukum didalam masyarakat itu
sendiri.
Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan
hukum didalam masyarakat?
Hukum sebagai Suprastruktur Sosial
Kerangka
dasar akan jawaban pertanyaan tersebut diatas adalah menggunakan pemikiran
Cicero yang talah mengemuka diawal, yang mana kedudukan hukum ada apabila
sebelumnya telah ada masyarakat atau dengan kata lain bahwa masyarakat
meng-konstitusi keberadaan hukum didalam masyarakat itu sendiri. Hal tersebut
sama halnya dengan pembicaraan mengenai masyarakat oleh Karl Marx, dimana Marx
menempatkan hukum sebagai suprastruktur sosial bukan sebagai basic struktur
(sosio-ekonomi).[2]
Kedudukan
yang demikian berpengaruh terhadap posisi saling berpengaruh antara hukum dan
masyarakat itu sendiri. Dengan kenyataan bahwa hukum ada karena adanya masyarakat
(masyarakat meg-konstitusi hukum), maka bentuk hukum yang ada didalam
masyarakat adalah sebagaimana dari peng-konstitusinya (masyarakat), coraknya
berdasarkan masyarakat pembentuknya, misalkan hukum didalam masyarakat agraris
akan berbeda dengan hukum didalam masyarakat industri.
Namun,
pembicaraan tersebut tidak berhenti sampai disitu. Dalam kenyataannya pula
sekarang, didalam masyarakat yang bercorak agraris dan masyarakat bercorak
industri berlaku adanya hukum positif negara yang entah bercorak apa, namun
berbeda dengan corak hukum yang ada didalam masyarakat tersebut. Misalkan
didalam masyarakat agraris dengan tipe sosial yang masih syarat adanya
kekeluargaan dan hubungan saling percaya diantaranya malah berlaku adanya hukum
positif negara yang bercorak tertulis dan mendasarkan hanya pada kepastian
hukum semata (bertolak belakang dengan corak hukum masyarakat dengan tipe
sosial agraris – hukum yang berlaku tidak tertulis).
Lalu bagaimana dengan konsistensi
bahwa masyarakat meng-konstitusi hukum?
Otonomi Relatif[3]
Hukum
Pandangan
mengenai masyarakat mengkonstitusi hukum tidaklah boleh dilihat secara
mekanistik, yang artinya selalu masyarakat berpengaruh terhadap corak hukum
yang berlaku dimasyarakat. Dalam pandangan materialisme dialektis oleh Marx
yang dikonstruksi ulang oleh Althusser[4],
bahwa sekalipun realitas meng-konstitusi kesadaran namun kesadaran punya
otonomi relatif untuk mempengaruhi realita yang meng-konstitusi-nya[5].
Dari kerangka dialektika yang demikian posisi hukum adalah sebagai kesadaran
dan masyarakat adalah sebagai realitas yang men-konstitusi hukum (kesadaran).
Yang artinya pula bahwa hukum punya otonomi relatif untuk mempengaruhi
bagaiamana realitas masyarakat yang ada.
Atas
dasar hal yang demikianlah muncul adanya hukum yang tertulis (hukum positif
negara) didalam masyarakat yang agraris yang masih bercorak kekeluargaan dan
saling percaya diantaranya.
Otonomi
relatif tersebut juga-lah yang memberikan kedudukan didalam masyarakat untuk
mempengaruhi keadaan masyarakat. Sehingga muncul adanya fungsi hukum sebagai social control dan social enginering akibat adanya kedudukan hukum yang relatif untuk
mempengaruhi masyarakat.
Lalu sejauhmanakah fungsi hukum
sebagai social control dan social enginering?
Hukum sebagai Sosial Control
Dalam
pembicaraan mengenai fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial adalah dalam
tahapan kedudukan hukum untuk melakukan pengedalian terhadap tingkah laku
masyarakat didalam pergaulannya. Pengendalian social terjadi dalam tiga taraf
yakni[6]:
1. kelompok
terhadap kelompok
2. kelompok
terhadap anggotanya
3. pribadi
terhadap pribadi
Yang
artinya posisi hukum sebagai social
control atau pengendali masyarakat adalah agar masyarakat dalam
pergaulannya tetap dalam koridor yang telah ditentukan hukum sebelumnya. Ada
indikator tertentu dalam hukum melakukan pengendalian terhadap masyarakat.
Sehingga bentuk hukum yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat amat-lah
menentukan bagaimana nantinya masyarakat sebagai realitas dapat melaksanakan
aktivitas dalam pergaulan hidup.
Arti
dari social control sendiri
sebenarnya adalah mengatur tindakan masyarakat yang sekarang dan mungkin yang
akan datang melihat dari kebiasaan (hukum) yang telah terjadi sebelumnya. Atau
tingkah laku masyarakat yang sekarang dan mungkin yang akan datang dibatasi
dengan hukum yang dirumuskan dari tingkah laku masyarakat sebelumya.
Dalam
penjelasan yang demikian tidak memperlihatkan posisi yang sebenarnya dari
pengaruh hukum terhadap masyarakat, hukum dalam konteks social enginering masih membicarakan peran masyarakat terhadap
hukum yang ada, karena dalam perumusan hukum yang sekarang (hukum positif)
tetap dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang ada.
Hukum sebagai Social enginering
Berbeda
dengan konsop social control yang
dalam perumusan hukum yang ada adalah akibat adanya tingkah laku masyarakat,
namun didalam fungsi hukum sebagai social
enginering posisi hukum yang ada bukanlah akibat dari keadaan realitas
masyarakat yang ada sebelumnya atau sekarang, namun rumusan hukum yang nantinya
digunakan untuk merekayasa (konteks mempengaruhi) masyarakat adalah bukan dari
keadaan raelitas tingkah laku masyarakat tersebut. Dalam fungsi hukum sebagai social control menempatkan posisi hukum
sebagai hal yang nantinya akan mempengaruhi masyarakat.
Titik
tekan dari fungsi ini adalah adanya rekayasa masyarakat agar tingkah laku atau
pola-pola yang ada didalam masyarakat sesuai dengan hukum yang akan digunakan
untuk mempengaruhi masyarakat tersebut. Hal demikian muncul berdasarkan paendapat
Satjpto Rahardjo sebagai akibat adanya anggapan bahwa kebiasaan, pola-pola dan
tingkah laku yang ada didalam masyarakat perlu diubah dan digantikan dengan
yang baru sesuai dengan apa yang nantinya akan dirumuskan didalam hukum
tersebut.[7]
Pandangan
mengenai fungsi hukum sebagai social
enginering dan menganggap perlunya ada rekayasa sosial dengan dalih
masyarakat telah usang wajar manakala tetap memperhatikan realita keadaan
masyarakat yang akan diubahnya, atau dalam perumusan hukum yang akan digunakan
sebagai alat perekayasa sosial melihat dari keadaan realitas masyarakat.
Melihat sebatas apa perubahan yang harus dilakukan dan juga melihat situasi
masyarakat yang akan diubahnya. Jangan sampai terjadi dalam perumusan yang
tidak melihat realitas atau bahkan didasarkan pada pandangan teori Hans Kelsen
mengenai pure of law yang meniadakan
anasir-anasir politik, sosial, agama, budaya, ekonomi dan lainnya didalam
masyarakat (karena dianggap sebagai pereduksi kedudukan hukum).[8]
Karena jika demikian, maka yang terjadi adalah adanya pengingkaran terhadap
pengaruh hukum terhadap peng-konstitusi-nya yaitu masyarakat yang hanya
bersifat otonomi relatif. Dan bisa jadi jika hal tersebut tetap dilaksanakan
artinya mengingkari otonomi relatif pengaruh hukum terhadap masyarakat, bukan
tidak mungkin nantinya hukum sebagai alat perekayasa sosial dalam penerapannya
bahkan ditentang oleh masyarakat yang akan diubahnya. Hal yang demikian dalam
realitasnya banyak terjadi, semisal pertentangan antara hukum adat dan hukum
nasional. Terjadinya pertentangan tersebut
muncul sebagai akibat adanya anggapan bahwa hukum yang ada didalam
masyarakat dan pola tingkah laku didalam masyarakat harus mengikuti hukum positif
nasional, dan juga adanya anggapan bahwa pengaruh hukum didalam masyarakat
adalah tidak relatif, sehingga memunculkan pandangan yang pure of
law bahwa hukum yang akan diterapkan didalam masyarakat adalah harus
dilepaskan dari anasir-anasir politik, sosial, agama, budaya, ekonomi dan
lainnya didalam masyarakat.
Dengan
demikian pandangan pengaruh hukum yang relatif terhadap pengkonstitusinya yaitu
masyarakat adalah sebagai batasan dari berlakunya hukum yang ada didalam
masyarakat. Tidak menjadi masalah adanya anggapan bahwa masyarakat harus diubah
sesuai dengan hukumnya, namun dalam konteks yang relatif dan tidak boleh
dibalik. Karena seperti telah mengemuka diatas bahwa sebesar apapun pengaruh
hukum terhadap masyarakat, pengaruh yang demikian adalah pengaruh yang relatif
(otonomi relatif) karena hukum ada didalam masyarakat adalah akibat adanya
masyarakat yang meng-konstitusi-nya.
[1] Kepala
Divisi Penelitian LKHS Periode 2013/2014.
[2]
Martin Suryajaya dalam Problem Filsafat, Berfikir
dengan Pendekatan Materialis Dialektis dan Historis, http://problemfilsafat.wordpress.com/2010/10/26/berpikir-dengan-pendekatan-materialisme-dialektis-dan-historis/,
diakses pada 6 April 2014.
[3]
Otonomi relatif adalah muncul sebagai akibat adanya Overdeterminasi hubungan
timbal-balik antara basic dan suprastruktur, yaitu hubungan determinasi
timbal-balik antara basic dan suprastruktur yang dirumuskan oleh Althusser
berdasarkan teori kontradiksi Mao Tse-Tung. Disadur dalam Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Yogyakarta:
Resist Book, 2011, hal. Xvi.
Dimana dalam konteks
tulisan ini, hubungan antara realitas (masyarakat) yang meng-konstitusikan
kesadaran (hukum) tidak searah semata, yaitu selalu masyarakat mempengaruhi
hukum, namun hukum hanya mempunyai otonomi relatif untuk mempengaruhi masyarakat
dalam tahapan tetap adanya masyarakat.
[4]
Ibid., hal. 11.
[5]
Dialektika Marx tersebut adalah kebalikan dari Dialektika Hegel (Idealisme). Ibid., hal. 57.
[6]
Sumarno, Fungsi Hukum sebagai Social
control dan Social enginering, http://gerakanmahasiswakini.blogspot.com/2011/12/fungsi-hukum-sebagai-control-social-dan.html,
diakses pada 6 April 2014.
[7]
Ibid.,
[8]
Ida Sugiarti, Teori Hukum Murni, http://isugiarti.blogspot.com/2010/01/teori-hukum-murni-hans-kelsen1881-1973.html,
diakses pada 6 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar