Mengembalikan
Hakekat Manusia Sebagai Subyek Dalam Organisasi[1]
Oleh :
“Sesungguhnya jikalau ada seseorang melakukan
suatu pekerjaan karena kecintaannya, rasa senang hatinya dan bukan karena
sebuah paksaan, maka ia akan melakukan pekerjaan itu sama bahagianya dengan ia
bermain” – Luthfi Kalbuadi
Avant Propos
Dari
sebuah layar ponsel, tertampang kata-kata bertuliskan “Selamat pagi, besok seluruh pengurus rapat di Sekre jam 2 siang”.
Usai membaca SMS tersebut, berkata dalam hati si pemilik ponsel, “Duh malesnya musti rapat, mana hari ini
deadline-nya musti diserahin, pusiiiing”. Dalam hati pula ia bertutur, “Ikut organisasi kok gini-gini amat ya,
capek, bete”. Pada akhirnya dapat kita tebak setidaknya ada dua kemungkinan
kelanjutan daripada kisah ini. Yang pertama, si dia tidak datang rapat. Yang
kedua, si dia datang rapat dengan terpaksa. Pernah merasa seperti ini? Atau
pernah merasa ada seorang temanmu yang seperti ini? Hal seperti ini adalah hal
yang wajar dalam dinamika organisasi. Namun kewajaran itu bukanlah suatu hal
yang bisa begitu saja dimaklumkan, karena bagaimanapun juga ini adalah sebuah
masalah. Yang mana masalah itu dianggap biasa sehingga menimbulkan persepsi
bernama kewajaran. Padahal bila kita melihat lagi apa itu organisasi, pada
intinya ialah sebuah alat bagi manusia, dan bukan malah manusia yang menjadi
alat organisasi.
Pasak
Pikiran Aksara : Manusia Dalam Organisasi
Tuntutan
manusia untuk hidup bersama merupakan sebuah tuntutan kodrati. Yang bahkan oleh
Aristoteles menuturkan bahwa manusia ialah zoon
politicon, manusia adalah mahluk sosial yang mana selalu membutuhkan orang
lain. Pada taraf kehidupan yang makin maju, manusia dalam hidup bersama
membentuk suatu kelompok. Oleh Hebert G.
Hicks[3]
menerangkan beberapa tujuan orang masuk sebagai anggota kelompok :
1. Untuk
memecahkan masalah, semisal ekonomi, militer, dan masalah-masalah lain
2. Orang
mungkin juga masuk kelompok karena kebutuhannya diterima dan mencegah kesepian
dan kerenggangan. Keagamaan, famili, dan kelompok-kelompok lain sering membantu
kebutuhan ini.
3. Demikian
kelompok juga dapat memberikan bantuan pada waktu orang menjumpai kesusahan
4. Kelompok
dapat memberikan tujuan dan nilai hidup yang lebih bernilai, norma, perilaku,
dan kesetiaan kelompok
5. Kelompok
sosial, kerja dan bermacam-macam kelompok lainnya memberikan prestige, status, dan pengakuan
6. Kelompok,
dengan kehidupan mereka memberi orang kesempatan untuk memuaskan kebutuhannya
untuk mengungkapkan perasaannya dan melakukan hubungan dengan berbagai cara
7. Perasaan
keamanan seseorang sering dimanfaatkan dari kelompok jika mereka mengurangi
kecemasan orang dengan meberikan dukungan, pertahanan dan perasaan
diikutsertakan.
8. Kadang-kadang
kelompok membantu memberikan terapi tatkala memecahkan masalah-masalah pribadi.
Salah
satu macam kelompok yang dibahas saat ini ialah organisasi. Oleh Ernest Dale[4],
organisasi didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan yang berkaitan dengan
hal menyusun, mengembangkan dan memelihara suatu struktur atau pola
hubungan-hubungan kerja dari orang-orang dalam suatu badan usaha. Sedangkan
menurut Dalton E. McFarland[5],
organisasi adalah pola komunikasi yang kompleks dan hubungan-hubungan lain di
dalam suatu kelompok manusia. Sederhananya, oleh Sutarto[6],
organisasi didefinisikan sebagai sistem yang saling pengaruh antar orang dalam
kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi ada 3 unsur
fundamen dalam organisasi. Pertama, sekelompok manusia. Kedua, bekerjasama sebagai
sistem. Ketiga, mencapai tujuan tertentu.
Bila
ditarik sebuah garis lurus sebuah hubungan antara manusia sebagai organisasi,
maka berdasarkan definisi diatas, manusia ialah berlaku sebagai subyek,
sedangkan organisasi sebagai obyek. Sederhananya, manusia ialah pelaku,
sedangkan organisasi ialah sebagai alat. Semisal ada seorang ingin melakukan
pengembangan diri dalam bidang sepakbola, maka ia masuklah kedalam organisasi
di bidang kesepakbolaan, yakni klub sepakbola. Dengan harapan, klub tersebut dapat
menjadi sarana bagi dia melakukan pengembangan diri. Semisal lagi ada seorang
ingin membuat lingkungan sekitar kelurahannya menjadi hijau lestari, maka ia
mendirikan suatu kelompok berbentuk organisasi di bidang pelestarian
lingkungan, katakanlah namanya Go Green
Concervation. Dengan harapan, melalui organisasi tersebut dapat membuat
lingkungan sekitar kelurahan menjadi hijau lestari, sesuai dengan keingingan si
pendiri organisasi. Singkatnya, ada kesamaan kebutuhan/kepentingan antara suatu
organisasi dengan seseorang. Pada asasnya seseorang hanya akan bersedia masuk
ke dalam organisasi apabila kebutuhan organisasi dirasakan sama dengan
kebutuhan orang itu.[7]
Adanya
Disorientasi
Lantas
bagaimana mungkin ada perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses
dalam organisasi? Padahal pada asasnya organisasi sangat membantu bagi
seseorang yang hendak mewujudkan kepentingannya. Analisis saya, keadaan
seseorang yang demikian disebabkan karena adanya disorientasi organisasi. Yaitu
adanya ketidaksamaan antara kepentingan individu dengan kepentingan organisasi.
Pada
suatu kasus, ada saja seseorang yang “salah kamar”. Yaitu minat seseorang itu
ternyata tidak sama dengan tujuan organisasi. Tujuan organisasi tersebut memang
tidak dapat mengakomodir minat seseorang itu. Semisal ada orang yang memiliki
minat pada bidang seni musik. Lalu ia memasuki organisasi di bidang pecinta
alam. Harapannya untuk dapat mengembangkan diri dalam seni musik kemungkinan
akan sirna di organisasi tersebut, karena memang organisasi tersebut tidak
bergerak di bidang seni musik. Jika seseorang tersebut diteruskan berproses
disana, maka yang ada ialah kekecewaan yang akhirnya akan menjalani organisasi
dengan rasa terpaksa.
Disorientasi
ini juga disebabkan oleh suatu hal. Menurut Firmanzah[8],
ada dua karakteristik pemilih[9],
yakni rasionalitas dan tradisionalitas. Rasionalitas menurutnya ialah tipe pemilih
yang mengedepankan hal-hal yang dapat diukur, dipertanggungjawabkan, dibuktikan
secara empiris dan logis. Semakin kalkutatif dan memaksimalisasi
kepentingannya, semakin rasional pula individu tersebut. Sedangkan
tradisionalitas ialah tipe pemilih yang mengedepankan hal-hal seperti
figurisme, kultus, ikatan emosional, mitos, simbol, dan takhayul. Tradisionalitas
sangat berkebalikan dengan rasionalitas. Tapi bukan berarti dua ciri ini
merupakan pilihan yang mutlak. Artinya tidak ada yang seratur persen rasionalis
dan begitu pula dengan tradisionalis, yang ada hanya kecenderungan. Kaitannya
dengan permasalahan ini, menurut penulis perasaan keterpaksaan dari seseorang
ketika berproses dalam organisasi disebabkan terlalu besarnya kecenderungan
tradisionalitas seseorang.
Tradisionalitas,
bagaimanapun memiliki kelemahan. Semisal pada figurisasi. Acapkali seseorang
berproses di suatu organisasi karena figur tertentu yang membuat dirinya
bertahan di organisasi tersebut. Namun bagaimana jadinya bila figur itu kelak
tidak ada atau tidak lagi bisa memfigurkan diri? Karena dalam organisasi, figur
tidaklah abadi, pasti kelak eranya bisa habis. Dampaknya ialah seseorang
tersebut merasa kehilangan seorang figur, sehingga ia kehilangan “pegangan”
dalam organisasi. Contoh lain juga pada ikatan emosional. Ketika seseorang
merasa nyaman dalam organisasi, maka ia akan perjuangkan betul organisasi.
Namun keadaan berbalik ketika ia merasa kecewa pada suatu organisasi, maka
bukan tidak mungkin ia meninggalkan organisasinya. Rasa sakit pada sisi
emosional ini merupakan luka psikis, yang mana tidak mudah dan tidak cepat pula
untuk bisa menyembuhkannya.
Dalam
hal ini penulis bukan berarti menolak segala bentuk tradisionalitas. Akan
tetapi jika kita memandang suatu organisasi, tidak dapat dipungkiri
kecenderungan terbesar ada di rasionalitas. Ferdinand Tonnies[10]
mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua, yakni Gemeinschaft dan Gesselschaft.
Istilah lain dari Gemeinschaft ialah
paguyuban, yang memiliki pengertian suatu bentuk kehidupan bersama dimana
anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah
serta bersifat kekal. Contohnya ikatan tetangga, keluarga, marga, dan lain
sebagainya. Sedangkan Gesselschaft istilah
lainnya ialah patembayan, yang memiliki pengertian suatu bentuk ikatan lahir
yang bersifat pokok untuk jangka waktu pendek, bersifat sebagai bentuk dalam
fikitan belaka (imaginary) serta
strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin.
Contohnya hubungan perdagangan, perusahaan, organisasi, dan lain sebagainya.
Sisi rasionalitas organisasi, orientasi kepentingan, ikatan lahir, dan
strukturalistik dalam organisasi ternyata membuat organisasi masuk pada
kategori Gesselschaft. Dapat
disimpulkan organisasi adalah masyarakat yang memiliki kecenderungan
rasionalitas. Lain halnya dengan Gemeinschaft
yang memiliki kecenderungan tradisionalitas.
Selain
pada kecenderungan tradisionalitas seseorang, menurut penulis disorientasi ini
juga disebabkan oleh tidak sadarnya seseorang terhadap tujuan organisasi.
Simpelnya, bayangkan jika ada sebuah bis pariwisata yang berisi supir yang
membawa seratus penumpang. Namun baik supir maupun penumpang tersebut tidak
tahu hendak kemana tujuan wisata bis pariwisata tersebut. Apakah ke gunung, pantai,
kota, ataupun desa. Yang terjadi ialah sebuah kebingungan, dan kebingungan
membawa kesesatan.
Dampak
dari disorientasi ini akan berimbas kepada organisasi dan individu yang
bersangkutan. Bagi organisasi, hal ini akan menyebabkan tujuan organisasi
tersebut dimungkinkan tidak tercapai. Bagi individunya, hal ini akan
menyebabkan dimungkinkan tidak tercapainya kepentingan individu tersebut.
Perlunya
Reposisi dan Edukasi
Reposisi
berarti memposisikan kembali. Sedangkan edukasi berarti menyadarkan seseorang
melalui pemberian pemahaman. Kedua hal ini menurut penulis ialah gagasan berupa
solusi untuk menyembuhkan “penyakit” organisasi sebagaimana yang telah
dipaparkan sebelumnya. Solusi ini hanya bersifat teoritis sehingga mengenai
mekanisme prakteknya dapat dikembangkan sendiri yang mana disesuaikan dengan
organisasi yang bersangkutan. Karena penulis percaya bahwa tiap-tiap organisasi
memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengatasi permasalahannya.
Pada
masalah “salah kamar” kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk terus
berproses dalam organisasi bila memang tidak ada kesamaan minat. Namun perlu
menjadi catatan bahwa minat bukanlah satu-satunya alasan seseorang berproses di
organisasi. Ada yang namanya potensi. Potensi ini bisa menjadi alasan untuk
menyatakan bahwa seseorang tersebut harus dipertahankan dalam organisasi. Yang
perlu dilakukan adalah meyakinkan orang itu dengan dasar potensinya, bahwa
organisasi yang ia masuki ialah organisasi yang tepat untuk dia dapat terus
berproses.
Sedangkan
pada masalah kecenderungan tradisionalitas seseorang pada organisasi, dalam hal
ini seseorang tersebut harus mulai berpola pikir lebih rasional. Gita Tri
Ramdhani, salah seorang teman saya berkata bahwa organisasi itu dijalankan
pakai otak, bukan pakai hati. Ada benarnya ucapan tersebut. Namun pemikiran
yang rasional an sich pada
perkembangan organisasi kekinian mendapat kritik besar. Yakni menurut Firmanzah[11]
rasionalitas memilik kelemahan dalam hubungan manusia yang bersifat relasional
yang mana pada tingkat akut dapat menimbulkan alienasi/keterasingan kepada
dirinya sendiri. Coba kembali kita ingat, bahwa antara tradisionalitas dan
rasionalitas bukanlah suatu pilihan mutlak, yang ada hanya kecenderungan. Maka
yang perlu dituju ialah kecenderungan rasionalitas seseorang haruslah lebih
dominan ketimbang sisi tradisionalitasnya pada organisasi. Seminimal mungkin
seimbang. Jangan sampai lebih besar tradisionalitasnya ketimbang
rasionalitasnya. Karena tidak dapat dipungkiri, tradisionalitas memiliki
keunggulan dalam hal kolektifitas. Sederhananya, menyadur perkataan teman saya
yang bernama Eby Julies Onovia bahwa tujuan organisasi adalah fokus utama,
sedangkan kekompakan adalah metode untuk mencapai fokus utama tersebut.
Mengenai
masalah ketidaksadaran seseorang pada tujuan organisasi, hal ini perlu
dilakukan suatu pemahaman kepada orang tersebut. Karena ketidaksadaran
seseorang berkaitan erat dengan ketidakpahamannya. Hal ini senada dengan
pendapat Paulo Freire bahwa dalam rangka memanusiakan manusia, penyadaran (conscientizacao) merupakan inti
pendidikan[12]. Jadi, ketidaksadaran seseorang pada tujuan
organisasi disebabkan karena ketidakpahaman, dan ketidakpahaman ini disebabkan
karena tidak adanya proses transfer pemahaman (pendidikan) kepada seseorang
yang tidak sadar pada tujuan organisasi itu tadi. Pendidikan yang dilakukan untuk dapat
menyadarkan seseorang tersebut harus dilakukan dengan metode dialog[13].
Dialog, dalam hal ini secara esensial didefinisikan Freire sebagai kata yang
disusun oleh refleksi dan aksi[14].
Refleksi berarti menekankan pada kata, sedangkan aksi menekankan pada karya,
yang mana kesatuan keduanya merupakan hal bersifat praksis[15].
Berikut ialah unsur-unsur
dialog[16]
:
1. Dialog
tidak dapat berlangsung, bagaimanapun, tanpa adanya rasa cinta, sehingga cinta
sekaligus menjadi dasar dari dialog.
2. Di
pihak lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati.
3. Dialog
selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia,
keyakinan pada kemampuan untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan
mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya.
4. Selain
itu dialog juga tak dapat terjadi tanpa adanya harapan.
5. Yang
pada akhirnya dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan melibatkan
pemikiran kritis – pemikiran yang melibatkan suatu hubungan tak terpisahkan
antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi/pemisahan antara keduanya –
pemikiran yang memandang realitas sebagai sebagai proses dan perubahan, bukannya
entitas yang statis – pemikiran yang tidak memisahkan dirinya dari tindakan,
tetapi senantiasa bergerumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa gentar
menghadapi resiko.
Melalui
pendidikan dialogis, diharapkan orang yang tidak sadar tadi menjadi sadar akan
tujuan organisasinya. Lalu ia paham betul akan tujuan organisasinya. Lalu ia
juga menjadi tahu dan juga dapat merancang bagaimana cara mewujudkan tujuan
organisasinya itu, dan kemudian melaksanakannya. Yang pada intinya, manusia dikembalikan hakekatnya sebagai subyek dalam
organisasi.
Penutup
Pada
akhirnya, untuk dapat mengembalikan hakekat manusia sebagai subyek dalam
organisasi, yang disebabkan oleh disorientasi tujuan seseorang pada organisasi
dapat dilakukan dengan reposisi dan edukasi. Hari ini manusia secara tidak
sadar menjadi alat bagi organisasi, bahasa jahatnya ialah manusia tersebut
dalam keadaan tertindas. Maka mengembalikan hakekat manusia sebagai subyek
dalam organisasi ialah sebuah keharusan bagi tiap-tiap insan yang bergerak
dalam organisasi.
Sumber
Pustaka
Firmanzah, Mengelola Partai Politik : Komunikasi Dan
PositioningIdeologi Politik Di Era Demokrasi, Jakarta, Buku Obor, 2011
Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta, Arruz
Media, 2012
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta,
LP3ES, 1985
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta,
Rajawali press, 1990
Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, Yogyakarta, Gadjahmada University
Press
[1] Essai
ini dibuat dalam rangka iseng-iseng tidak berhadiah
[2]
Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed angkatan 2010. Saat ini aktif di Unit Kegiatan
Mahasiswa Lembaga Kajian Hukum dan Sosial sebagai Ketua Divisi Pengkaderan. Panji merupakan anak yang rajin
beribadah, cerdas IQ, EQ, dan SQ-nya, ganteng, tidak mesum, baik hati, pembela kaum tertindas, kalem, jujur,
dermawan, rajin menabung, dan tidak sombong. Menyukai filsafat, politik, hukum
tata negara, teologi, dan perempuan.
[3] Hebert
G. Hicks, The Management of Organization
: A System and Human Resources Approach, Tokyo, McGraw-Hill Kogakusha, 2nd,
hlm 156, sebagaimana disadur dari buku Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, hlm 2
[4] Ernest
Dale, Planning and Developing the Company
organization Structure, 1952, hlm 17, sebagaimana disadur dari buku Ibid, hlm 25
[5] Dalton
E. McFarland, Management : Principles and
Practice, New York, McMillan Co, 1958, hlm 161m sebagaimana disadur dari
buku Ibid, hlm 29
[6] Sutarto,
Dasar-Dasar Organisasi, 1993,
Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hlm 40
[7] Ibid, hlm 6
[8]
Firmanzah, Mengelola Partai Politik :
Komunikasi Dan PositioningIdeologi Politik Di Era Demokrasi, Jakarta, Buku
Obor, 2011, hlm 230,231,238,241,dan 246
[9] Dalam
hal ini penulis menganalogikan dengan partai
politik karena menurut penulis, karakteristik orientasi seseorang memasuki
suatu organisasi tak ubahnya orientasi seseorang memilih suatu partai politik
dalam pemilu. Yakni apakah suatu organisasi/partai itu akan menguntungkan dia,
atau organisasi/partai itu dapat membuat dia nyaman
[10]
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu
Pengantar, Jakarta, Rajawali press, 1990, hlm 144
[11]
Firmanzah, Op Cit, hlm 232
[12]
Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri,
Yogyakarta, Arruz Media, 2012, hlm 131
[13] Untuk
dapat memahami secara mudah pendidikan dialogis, hal ini dapat dipahami sebagai
kebalikan dari metode monologis, yakni “menggurui”, bahwa guru ialah sebagai
satu-satunya pusat kebenaran. Pendidikan dialogis lebih menekankan kesetaraan
antara pendidik dengan peserta didik.
[14] Ibid, hlm 137
[15] Paulo
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta,
LP3ES, 1985, hlm 71
[16] Ibid,
hlm 74-79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar