Minggu, 26 September 2010

Refleksi Sebuah Stasiun

Bermula dari sebuah pertemuan, pertemuan kembali dengan seorang teman yang sudah 2 minggu tidak bertemu. Seorang yang gila dan saat ini bentuk kepalanya terlihat jelas dengan potongan rambut seperti bola golf. Tertawa, itulah pertama kali yang aku lakukan ketika melihatnya, candaan yang kemudian berujung pada sebuah realisasi rencana untuk duduk bersantai di stasiun tua kota Purwokerto.
Tiba di stasiun tua ini, sejenak aku melihat, memvisualisasikan topeng-topeng kehidupan, topeng ketenaran, topeng peradaban umat manusia yang terhentak akibat teknologi, akibat ekonomi, akibat sistem yang dibentuk untuk penindasan. Betapa pengkotak-kotakan umat manusia begitu terlihat dalam bayang semu miniature Indonesia. Negara ini penuh penjajahan itulah yang terlintas dalam benak pikiran kesadaranku, entah kesadaran semu atau pun kesadaran sistem, yang jelas stasiun ini dipenuhi manusia yang serba berbeda. Perbedaan yang tercipta karena adanya fungsi, gerak tubuh, posisi dan keadaan ekonomi. Penjual dagangan menjajakan panganan, borjuis kecil asik sendiri dengan jejaring sosialnya.
Sinisme yang terbentuk adalah betapa dunia memang membedakan, betapa dunia memperlakukan manusia dengan ketidakadilan karena kemampuan ekonominya. Pengkotakkan di stasiun ini sudah begitu kejam, hingga alat transportasi masa pun menunjukan fungsinya sebagai pembeda. Kapankah dunia yang penuh pembedaan dan busuk ini akan berakhir? Pertanyaan filosofis yang sebenarnya tidak perlu aku tanyakan itu pun muncul, pertanyaan yang penuh pembaharuan terhadap sistem kapitalis yang dibangun. Ketika manusia sudah sampai batas waktunya semua akan berubah, setidaknya itulah yang menjadi keyakinan diri ini.

Stasiun tua Purwokerto, 28 Agustus 2010.
Angga Afriansha.AR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar