Oleh : No Name
Tepat satu bulan yang lalu terdapat suatu pernyataan
dari salah satu pengacara kondang dalam negeri yakni Hotman Paris Hutapea yang
sempat viral di media sosial dimana beliau mendesak pemerintah untuk segera
membentuk dan mengesahkan Undang- undang contempt
of court dengan alasan bahwa kepastian hukum sangat sulit terwujud di Indonesia
dan sangat mahal harganya. Hotman Paris mengatakan sudah terlalu banyak putusan
inkracht yang tidak dialksanakan oleh pihak yang dikalahkan dan tidak bisa di
eksekusi, atas dasar peristiwa tersebut hotman paris berdalil bahwa dengan
adanya Undang- undang contempt of court maka orang-orang yang telah dikalahkan
tersebut dapat dikenakan pidana dengan undang-undang contempt of court.
Istilah contempt
of court dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penghinaan terhadap
pengadilan ,contempt of court sendiri
banyak berkembang di negara-negara yang menganut sistem common law. Berdasarkan buku Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 dalam penjelasan
umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 yang berbunyi:
“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya
suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku,
sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan,
martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of
Court”.
Selain itu dalam buku Naskah Akademis tersebut juga
disebutkan perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap
pengadilan antara lain :
a. Berperilaku
tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in Court)
b. Tidak mentaati
perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders)
c. Menyerang
integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court)
d. Menghalangi
jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice)
e. Perbuatan-perbuatan
penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice
Rule)
Di
Indonesia terdapat beberapa pendapat terkait pengaturan contempt of court dalam internal lembaga peradilan, sebab ada hakim
yang berpendapat bahwa dalam menjalankan
tugasnya para hakim ini perlu mendapat perlindungan yang layak sehingga dapat
menghasilkan kualitas yang baik sedangkan yang lain berpendapat contempt of court ini sudah diataur di dalam peraturan
perundang-undangan meskipun tidak disebut dengan sebutan contempt of court.
Wacana
untuk membentuk Undang-undang contempt of
court sebenarnya sudah sejak lama ada dengan banyaknya kasus penghinaan
terhadap pengadilan bahkan ada yang sampai mengancam keselamatan jiwa Hakim,
hal tersebut tentu saja menimbulkan persepsi bahwa lembaga peradilan telah
kehilangan wibawanya. Gagasan untuk mengajukan
UU Contempt of Court muncul pertama kali pada saat Rapat Kerja Nasional
MA di Yogyakarta pada 2001 merekomendaskan antara lain perlunya penyusunan RUU
tentang Penghinaan terhadap Pengadilan “demi terciptanya kepastian hukum serta
melindungi lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman”. Hal
tersebut selaras dengan pendapat Hotman Paris yang sudah disebutkan di atas sebab
Tanpa kejelasan aturan, setiap orang bisa seenaknya melakukan pelecehan dan
penghinaan terhadap peradilan termasuk tidak dilaksanakannya putusan pengadilan
merupakan salah satu bentuknya.
Meskipun begitu upaya untuk membentuk
Undang-undang contempt of court
mendapat pertentangan dari berbagai pihak terbukti sudah hampir 17 tahun wacana
membentuk undang-undang tersebut belum terwujud, di sisi lain juga diperlukan
kemauan politik dari pemerintah dan DPR untuk mewujudkan wacana tersebut. Pada
Rancangan KUHP yang baru pasal mengenai adanya contempt of court pun mendapat
banyak pertentangan terutama dari pihak-pihak yang bergelut di bidang media
karena timbul pemikiran rentannya para penggiat media dikenakan pidana atas
pasal penghinaan terhadap pengadilan. Timbul persepsi bahwa RUU contempt of court dibuat untuk membatasi
kebebasan berpendapat. Hal tersebut sangatlah logis ketika melihat banyaknya
kritikan terhadap integritas peradilan dan pejabat yang ada di dalamnya
sehingga ada kalangan yang berpendapat bahwa alasan dari keinginan untuk
membentuk undang-undang contempt of court
ini merupakan reaksi atas kritikan yang dilancarkan kepada pejabat peradilan
khususnya hakim.
Terkait masuknya contempt of court dalam ranah perdata perlu dilakukan kajian
terhadap sanksi penjara yang dapat dikenakan terhadap tereksekusi yang tidak
mekasanakan putusan agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan. Sebab, dalam
hukum acara perdata sendiri terdapat upaya paksa berupa penyanderaan(Gijzeling) dimana seseorang yang
dijatuhi putusan berupa putusan condemnatoir dapat dipaksa untuk melaksanakan
putusan tersebut dengan cara di penjara selama beberapa bulan sampai ia
melaksanakan putusannya. Karena bagaimanapun juga contempt of court diadopsi dari negara – negara yang menerapkan sistem
hukum common law dimana tidak terdapat pemisahan antara hukum pidana dan
perdata seperti yang ada dalam sistem hukum civil law.
Pembentukan pengaturan menegenai contempt of court perlu diatur khusus(lex spesialis) dengan undang-undang
tersendiri. Namun, apabila tindak pidana ini dituangkan dalam RKUHP sebaiknya
hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum(lex
Generali) dan jumlah pasalnya tidak terlalu banyak. Selanjutnya, UU
Contempt of Court mengatur lebih komprehensif lagi.
Sehingga menurut hemat penulis dengan
melihat polemik yang ada terhadap pengaturan contempt of court ini dapat di atasi dengan pembentukan
undang-undang khusus terkait penghinaan terhadap pengadilan harus diwujudkan agar
parameter terkait perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam RKUHP lebih jelas.
Terkait isu membatasi kebebasan pers maka kita dapat mengadopsi aturan-aturan
yang telah diterapkan di negara-negara maju dimana pelanggaran yang dilakukan
oleh penggiat pers dimasukkan dalam ranah perdata.
Sumber : hukumonline.com
Sumber : hukumonline.com