Oleh : Robbyansyah Abdullah
Semakin maraknya pemberitaan tentang peristiwa
pemerkosaan dan pencabulan dari para pelaku yang ditanyakan sikapnya sebagai
seorang yang dikatakan manusia namun sikapnya dianggap lebih rendah dibanding
hewan, Puncaknya, kabar tragis datang dari Bengkulu.
Seorang anak di bawah umur diperkosa oleh 14 orang laki-laki, hingga meninggal
dunia. Namun apa daya penanganan yang dilakukan pemerintah baru
membuat sikap yang seolah tegas akibat dari pemberitaan yang mencuat dan
keluarlah sebuah wacana tentang pemberatan hukuman bagi para pelaku pemerkosaan
apalagi pemerkosaan dibawah umur yaitu
dengan hukuman kebiri.
Seolah Nasi sudah menjadi bubur baru Presiden Jokowi pun baru mengambil sikap dengan
mempertimbangkan perlunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
yang memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Rancangan Perppu
tersebut kini masuk dalam tahap finalisasi. Berbagai kementerian dan instansi
terkait saat ini tengah melakukan sinkronisasi sehubungan dengan perancangan
Perppu tersebut. Ada dua pasal dari UU No. 23 Tahun 2002 yang
dianulir melalui racangan Perppu tersebut, yakni Pasal 81 dan Pasal 82.
Keduanya merupakan pasal-pasal yang mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan
seksual dan tindakan cabul terhadap anak.
Pasal 81 UU No.
23 Tahun 2002 mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan. Ancaman ini
tidak hanya berlaku bagi orang yang memaksa melakukan persetubuhan dengan anak,
tetapi juga yang membuat anak bersetubuh dengan orang lain. Hukuman pidana
penjara yang bisa dijerat paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun.
Selain itu, diancam pula dengan denda paling banyak Rp300 juta dan paling
sedikit Rp60 juta. Sementara itu,
di dalam rancangan Perppu tidak diatur mengenai ancaman denda minimal.
Sedangkan denda maksimal dinaikan menjadi Rp5 miliar. Adapun pidana penjara
paling lama tidak ada perbedaan, sedangkan pidana penjara paling singkat
dinaikan menjadi sepuluh tahun.
Pemberatan
hukuman di dalam rancangan Perppu juga berlaku bagi pelaku perbuatan cabul
terhadap anak. Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 mengatur bahwa setiap orang yang
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, bisa dipenjara paling lama 15 tahun dan
paling singkat 3 tahun. Selain itu, dapat pula dikenakan denda paling banyak
Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.
Di dalam
rancangan Perppu, ancaman pidana paling singkat bertambah menjadi 5 tahun.
Sedangkan ancaman pidana penjara paling lama tidak ada perubahan. Sementara
itu, ancaman denda minimal juga tidak diatur seperti perubahan atas Pasal 81.
Akan tetapi, denda maksimal bertambah menjadi paling banyak Rp5 miliar. Selain
memperberat hukuman penjara dan denda, rancangan Perppu juga mengatur
pemberatan, baik bagi pelaku kekerasan seksual maupun perbuatan cabul terhadap
anak. Pemberatan ini diberikan 1/3 dari ancaman pidana pokok. Adapun
orang-orang yang terancam dengan pemberatan hukum adalah orang tua, wali,
pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan yang melakukan pidana tersebut. Selain itu,
pemberatan hukuman juga diatur untuk pidana yang menimbulkan akibat tertentu.
Secara limitatif disebutkan akibat-akibat yang menimbulkan pemberatan hukuman
bagi pelaku. Akibat tersebut adalah jika menimbulkan korban lebih dari satu orang,
mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Pelaku yang
menimbulkan akibat yang diatur itu, diancam dengan pemberatan 1/3 dari ancaman
pidana pokok. Tak hanya itu, pelaku juga diancam dengan pidana tambahan. Tak
lain pidana tambahan yang ditentukan adalah kebiri kimia.
Menurut
penjelasan rancangan Perppu itu, yang dimaksud dengan kebiri kimia adalah
memasukkan bahan kimiawi antiandrogen ke dalam tubuh pelaku. Cara yang ditempuh
bisa melalui suntikan atau meminumkan pil khusus. Tujuannya, memperlemah hormon
testosteron orang yang bersangkutan. Secara lebih
detail, rancangan Perppu mengatur bahwa ancaman pidana tambahan berupa kebiri
kimia paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan. Diputus bersamaan
dengan putusan akhir dan dilaksanakan bersamaan dengan pidana pokok. Namun,
pidana tambahan ini dikecualikan bagi pelaku anak. Pelaksanaan
pidana kebiri kimia tak sembarangan. Pidana tambahan ini harus dilakukan oleh
tenaga medis yang ditunjuk pemerintah sesuai dengan standar dan prosedur.
Pelaksanaannya pun di bawah pengawasan secara berkala dari Kementerian
Kesehatan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri
Nursyamsi menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang akan
mengatur tentang sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual
(Perppu Kebiri) bermasalah secara materiil maupun formil karena berpotensi
melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Sebagaimana diketahui, kasus pemerkosaan sekaligus
pembunuhan terhadap YY menjadi sorotan publik beberapa pekan belakangan. Kasus
itu telah menjadi perhatian serius Pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo. Tawaran Perppu tersebut, kata Fajri justru berpotensi
melanggar dua prinsip yang menjadi amanat reformasi, yaitu prinsip HAM dan
demokrasi. Secara substansi, menurut dia, Perppu kebiri akan berdampak pada
hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan
dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945. "Selain itu, sampai saat ini tidak ada kajian yang
menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan kekerasan
seksual. Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa serta merta
hilang dengan mengebiri pelaku. Bahkan, kata Fajri di Negara Bagian California di Amerika
Serikat, kebijakan sanksi kebiri atas pelaku kekerasan seksual mendapat kecaman
setelah berjalan selama 20 tahun. Kritik terhadap sanksi kebiri didasari oleh
beragam alasan. Mulai dari pemberlakuannya yang tidak membedakan
usia pelaku dari anak sampai dewasa, hingga tidak efektifnya sanksi karena
hanya akan berdampak pada pelaku yang sudah melakukan kekerasan seksual, bukan
pada calon pelaku yang justru perbuatannya harus mampu dicegah