Rabu, 17 Juni 2015

Pembatalan Perkawinan, Bagaimana Statusnya?

 
Oleh : Bangkit Angga Permana

             Pembatalan perkawinan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk sebuah putusnya perkawinan. Pembatalan perkawinan tersebut diatur dalam Bab IV UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mulai Pasal 22 s/d Pasal 28 jo. Bab XI Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam mulai Pasal 70 s/d 76. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila dalam perkawinan tersebut para pihak tidak memenuhi syarat. Dari kalimat tersebut muncul beberapa pendapat, apabila pembatalan perkawinan itu “dapat” dilakukan berarti bahwa pembatalan perkawinan itu bukanlah hal yang wajib dilakukan apabila dalam perkawinan tidak terpenuhinya syarat-syarat yang harus ada. Namun yang akan dibahas dalam esai kali ini adalah bagaimana status orang yang telah membatalkan perkawinannya.
            Logika sistemnya adalah seorang wanita dan seorang pria melakukan perkawinan dan setelah itu diputus perkawinannya dengan jalan pembatalan perkawinan karena tidak memenuhi syarat perkawinan, secara formil syarat perkawinan meliputi perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat nikah yang tak berwenang; wali nikah yang tidak sah; perkawinan tanpa dihadiri dua orang saksi; dll. Di samping itu, seorang suami atau istri dapat membatalkan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman atau pemaksaan; atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Bagaimana statusnya setelah itu? Janda dan Duda atau Gadis dan Perjaka? Karena logikanya ketika adanya pembatalan maka perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Permasalahan berikutnya adalah, bagaimana ketika selama perkawinan tersebut sudah memiliki anak?
            Esai yang ditulis secara singkat ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertera diatas. Pembatalan perkawinan bukanlah pereraian maka akibat hukumnya, wanita tidak menjadi janda. Dengan logikanya adalah perkawinan merupakan sebuah perjanjian dan menurut pasal 1320 KUHPdt ada syarat sahnya perjanjian, antara lain :
1.     Cakap
2.     Sepakat
3.     Atas hal tertentu
4.     Sebab yang halal
Cakap dan sepakat merupakan syarat yang melekat pada subjektif manusia sedangkan atas hal tertentu dan sebab yang halal adalah syarat yang harus dipenuhi melihat objeknya. Selanjutnya dilihat dari sebuah perkawinan apabila syarat perkawinan tidak dilengkapi atau tidak memenuhi maka perkawinan dianggap tidak pernah ada. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Zuma seorang pengacara dan seorang pendiri situs pranikah, pernyataan tersebut juga diperkuat oleh Ade Novita, S.H. bahwa perkawinan yang pernah terjadi namun dikemudian hari terjadi pembatalan perkawinan, maka perkawinan dianggap tidak pernah ada dan status orang tersebut kembali seperti sebelumnya, single.
Pertanyaan pertama telah terjawab, yaitu perkawinan yang terputus akibat adanya pembatalan perkawinan adalah dianggap tidak pernah ada dan status dari masing masing pihak kembali seperti sebelumnya, bukanlah janda ataupun duda. Lalu bagaimana ketika selama perkawinan telah lahir seorang anak? Ade Novita, SH pun menyatakan bahwa anak atau buah hati statusnya tetap sama, ialah anak sah dari ayahnya dan anak sah pula dari ibunya dan ia tetap memiliki hak-haknya sebagai anak yang sah diantaranya ada biaya-biaya serta waris, hal itu pula tercantum dalam Pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974.
Dari penjabaran diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ketika terjadi pembatalan perkawinan pihak-pihak yang sebelumnya terikat dalam sucinya ikatan perkawinan tidaklah menjadi janda ataupun duda dikarenakan perkawinan itu tidak sah akibat tidak terpenuhinya syarat formil dan perkawinan dianggapp tidak pernah ada, dan untuk melindungi hak dari buah hati yang telah lahir maka UU No. 1 Tahun 11974 pasal 28 mengaturnya agar si buah hati tetap mendapatkan haknya sebagai anak yang sah.

Hakim Sarpin dan Perluasan Objek Praperadilan

-->
Oleh :  Raden Achmad Zulfikar Fauzi

Pada bulan Februari 2015 Hakim Sarpin Rizaldi membacakan putusan atas permohonan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan Dalam putusannya, Sarpin Rizaldi menyatakan mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Budi Gunawan. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk dalam lingkup praperadilan. Hakim Sarpin dalam pertimbangan putusannya karena undang-undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud upaya paksa, maka hakim berhak menafsirkan apa saja yang dikategorikan sebagai upaya paksa. Ia menilai penetapan tersangka merupakan salah satu upaya paksa karena tindakan itu dilakukan dalam ranah pro justisia.

Putusan tersebut pun menjadi sorotan bagi banyak pihak terutama dalam bidang akademisi hukum dan sedikit banyak menimbulkan tanda tanya besar bagi hukum acara di negeri ini. Karena dalam putusan hakim tersebut secara objektif sebagai terobosan dan/atau penemuan hukum terkait putusan praperadilan Budi Gunawan di Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan. Ketika itu terdapat pro kontra didalam ranah akademisi hukum  mengenai putusan tersebut dikarenakan Berdasarkan Pasal 1 angka 10 jo.Pasal 77 KUHAP, tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Praperadilan hanya dapat dilakukan terhadap upaya-upaya paksa yang memang telah diatur secara limitatif di dalam KUHAP, yaitu terhadap penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Sedangkan dalam hal penetapan tersangka hanya secara limitatif yang disebutkan dalam KUHAP. 

Seiring berjalannya waktu  berselang 2 bulan muncullah putusan MK terkait Praperadilan. Putusan pada Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut menegaskan ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Menurut Mahkamah, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. “Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan Pertimbangan Hukum.

Hakikat keberadaan pranata praperadilan, lanjut Mahkamah, adalah bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Namun dalam perjalanannya, lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi. “Fungsi pengawasan pranata praperadilan hanya bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan,” imbuhnya.

Pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. “Mahkamah berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum,” tegas Anwar.

Terhadap putusan tersebut, tiga orang hakim, yakni Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Muhammad Alim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Palguna, Mahkamah seharusnya menolak permohonan Pemohon terkait dengan tidak masuknya penetapan tersangka dalam lingkup praperadilan lantaran hal tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi. Berpegang pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Palguna menilai tidak memasukkan penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup praperadilan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut adanya tanggung jawab negara (state responsibility). 

Adapun Hakim Konstitusi Muhammad Alim menilai, jika dalam kasus konkret penyidik ternyata menyalahgunakan kewenangannya, misalnya secara subjektif menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa mengumpulkan bukti, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah. Pasalnya, hal semacam itu merupakan penerapan hukum. Penilaian atas penerapan hukum adalah kewenangan institusi lain, bukan kewenangan Mahkamah. Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto dalam putusan tersebut tidak dimasukannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk merevisinya. Tidak dimasukannya ketentuan tersebut tidak serta merta menjadikan Pasal 77 huruf a bertentangan dengan Konstitusi.  

Sifat Putusan MK

Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.

Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi.
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.  perkara pengujian undang-undang, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK menegaskan bahwa  Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Demikian pula dalam putusan MK diatas meniadaan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

Putusan MK diatas Dapat penulis simpulkan perluasan objek praperadilan memberikan sedikit banyak pencerahan terhadap penulis terkait perluasan objek praperadilan. Akan tetapi MK dalam hal ini hanya bertindak sebagai negative legislator  MK berfungsi sebagai legislator sebagaimana Parlemen (DPR). Bedanya, Parlemen sebagai positive legislator (pembuat norma), sedangkan MK sebagai negative legislator (penghapus norma) sehingga perlu adanya revisi terkait adanya KUHAP sehingga tidak adanya kesimpang-siuran terkait perluasan objek praperadilan maka dari itu DPR perlu merevisi KUHAP.


Senin, 15 Juni 2015

Merayakan Hari Kembangkitan Nasional


Oleh : Ramdani Laksono

69 tahun Indonesia telah merdeka dan sejak dideklarasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh perwakilan bangsa Indonesia yakni Soekarno dan Hatta yang menandai lepasnya kolonialisme yang menjangkit Indonesia maka patut dibanggakan pencapaian tersebut. Menghargai jasa-jasa pendahulu bangsa memang harus dilakukan karena dengan jasa-jasa mereka negara yang indah ini dapat berdiri sampai sekarang. Namun konteks menghargai tidak sebatas dengan kita merenung dan berdoa untuk Indonesia yang lebih baik. Lagi-lagi harus lebih dari itu karena hasil renungan dan doa-doa baik tidak akan terlaksana kalau kita tidak mencoba melakukannya.

Bertepatan dengan Tanggal 20 Mei yang dideklarasikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional maka kita juga harus ikut merayakannya dengan cara yang tepat. Tegas dan jelas bahwa memaknai suatu hari bersejarah dirasa kurang hanya dengan merenung dan berdoa tanpa melakukan tindakan konkret. Untuk dapat merayakan suatu hari bersejarah dengan tepat dan dapat menghasilkan suatu resolusi mantap maka terlebih dahulu harus dikemukakan latar belakang sosio historis yang dapat memberi pemahaman kepada kita mengapa hari tersebut sungguh bermakna. Berkaca dari gerak sejarah adalah tindakan sungguh tepat dalam membaca gerak-gerak perkembangan zaman dan merumuskan resolusi yang dirasa mantap.

Tentu tidak asal ucap dan asal sebut mengenai suatu peristilahan mengenai hari yang bermakna dalam sebuah kalender. Berbicara hari kebangkitan nasional maka tentu kita berbicara bagaimana tanggal 20 Mei beberapa abad silam atau tepatnya era 1900. Tanggal tersebut diambil berdasarkan tanggal berdirinya organisasi Budi Utomo. Namun bukan hanya Budi Utomo saja organisasi yang berdiri pada era 1900, banyak organisasi lain yang bermunculan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Budi Utomo dianggap sebagai pencetus organisasi yang menjadi perlawanan terhadap kolonialisme pada era itu. Organisasi lain yang bermunculan setelah Budi Utomo ada cukup banyak antara lain Indische Partij, Sarikat Dagang Islam, dan juga tidak dapat kita lupakan mengenai Medan Priyayi yakni Pers yang bercorak nasional pertama di Indonesia.
            Lahirnya organisasi-organisasi yang bercorak nasional tidak dapat dilepaskan dari peran pemuda pada masa itu. Peran pemuda dalam berbagai perkembangan zaman di dunia memang sungguh mengesankan. Dengan ciri pemikiran terbuka dan cenderung menyukai perubahan maka pemuda mempunyai peranan penting bagi suatu perubahan dalam suatu peradaban yang terpuruk. Apabila kita menengok fakta-fakta sejarah Indonesia, tak dapat di pungkiri bahwa pergerakan kemerdekaan indonesia modern melawan kolonialisme digerakan dan dipelopori oleh kaum muda yang membentuk beberapa organisasi pergerakan yang bersifat nasionalis.

Hal ini bisa kita lihat bahwa umur-umur para tokoh pergerakan nasional tersebut berkisar antara 20-30 tahunan. Kartini sewaktu menyuarakan Cri De Coueurnya (Jeritan Hati Nuraninya) pada tahun 1900-an melawan feodalisme dan kolonialisme, berusia 20 tahunan. Begitu juga Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo beserta kawan-kawannya ketika mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 mereka semua berusia 20-25 tahunan. Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto ketika memimpin organisasi tersebut berusia 25 tahun. Soebadio Sastrosatomo, Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni, serta dokter Moeward ketika memaksa Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia berusia 25-30 tahunan, dan Sultan Syahrir sendiri yang ikut menggerakan pemuda pada waktu itu berusia 36 tahun.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran pemuda dalam perkembangan zaman suatu peradaban memegang peranan penting. Peran pemuda menjadi sangat penting dalam suatu perjuangan untuk melawan suatu realitas yang berbau penindasan. Namun pergerakan pemuda tanpa melibatkan rakyat adalah tidak tepat. Pemuda harus saling bahu membahu dengan kaum rakyat tertindas dalam menghadapi penindasan yang menimpa suatu bangsa. Pemuda adalah salah satu irama rahasia dalam suatu perjuangan untuk memajukan peradaban.

Tahun 1900 dan sekarang tentu sudah jauh berbeda dan banyak memiliki perbedaan. Namun peran pemuda selalu memegang peranan penting dalam sebuah perjuangan untuk memajukan peradaban terpuruk. Sebagai usia yang produktif, pemuda memilki masa depan untuk bisa menuju kemajuan bersama masyarakat. Dilihat dari aspek usia, pemuda berjumlah 75 Juta orang dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 244, 8 Juta orang. Pemuda tersebar sebagai pelajar dan mahasiswa, buruh, tani. Persebaran yang ada di setiap sektor dan ciri-ciri khususnya menjadikan kedudukan peran pemuda sangat penting sebagai tenaga produktif dalam suatu bangsa.  

Moment Hari Kebangkitan Nasional harus dijadikan sebagai rekfeksi dan merumuskan resolusi-resolusi konkret dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia pada umumnya dan pemuda mahasiswa pada khususnya. Indonesia memang sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Penjajahan model baru yang tidak terlihat dan kasat mata sedang menjangkit Indonesia. Lahir kebijakan-kebijakan yang anti rakyat, semisal pencabutan subsidi bbm, penguasaan sumber daya alam yang timpang, perampasan tanah oleh negara dan banyak hal lainnya yang pada akhirnya menimbulkan kesenjangan secara ekonomi dalam masyarakat Indonesia. Masalah-masalah tersebut kian hari semakin menampakan dirinya dan menandai bahwa Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja. Indonesia sedang dijajah secara lembut namun berdampak nyata dan menyengsarakan rakyat.

A. Problem Umum Pemuda Indonesia             
           
Diawali dengan masalah-masalah seperti disebut diatas maka akan ikut berdampak kepada sektor pemuda Indonesia. Persoalan umum pemuda dalam masyarakat Indonesia adalahPendidikan dan Pekerjaan. Sebab pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi modal bagi pemuda untuk mengembangkan diri menjadi tenaga produktif untuk mengambil bagian dalam memajukan kondisi rakyat Indonesia. Namun pada kenyataannya, pendidikan yang menjadi hak setiap warga negara atau pemuda pada khususnya masih saja dirampas oleh negara. Pendidikan merupakan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam UUD 1945 maka negara wajib menyelenggarakannya tanpa terkecuali. Akan tetapi kebijakan liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang berorientasi keuntungan.
            Kemudian orientasi politik pendidikan di Indonesia, dijadikan sebagai alat kebudayaan untuk melegitimasi segala kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi, politik, budaya dan militer yang menguntungkan bagi negara asing. Sistem pendidikan yang tidak ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat hingga saat ini, melahirkan watak-watak yang anti progesif untuk mengabdi kepada rakyat. Sehingga saat ini banyak kita temukan kaum-kaum intelektuil baik yang bergelar Sarjana, Master, Profesor, menjadi penghamba bagi Rejim boneka dan perusahaan-perusahan yang melanggengkan kepentingan negara asing.

Sementara itu, sempitnya lapangan pekerjaan menjadi persoalan bagi pemuda di Indonesia. Dari total angkatan kerja di Indonesia berjumlah 118 juta orang, saat ini penggangguran di Indonesia terhitung sebanyak 71,4 Juta dan bekerja serabutan sekitar 58 Juta orang. Sedangkan pengangguran di usia muda di Indonesia, berjumlah 4,9 juta orang. Sementara pengganguran yang berlatar belakang dari lulusan mahasiswa berjumlah 1,2 juta orang. Pemuda yang disebut sebagai kekuatan produktif di Indonesia bahkan tidak diberikan akses atas lapangan pekerjaan untuk dapat mengembangkan kemampuan skill dan ilmu pengetahuan untuk mendukung perjuangan reforma agraria sejati dan industry nasional di Indonesia sebagai syarat kemajuan rakyat Indonesia.

B. Problem Khusus Pemuda Mahasiswa Indonesia

Dari persoalaan umum pemuda Indonesia atas pendidikan dan pekerjaan, kita menyimpulkan persoalan khusus yang dihadapai oleh pemuda mahasiswa diantaranya mencakup problem kebudayaan dan ekonomi, yakni :
- Mahalnya biaya pendidikan, membuat rendahnya akses rakyat terutama dari kalangan pemuda yang berlatar belakang klas buruh dan tani. Sehingga ini mempertahankan kebudayaan terbelakang yang menindas dan menghisap rakyat Indonesia.
- Sistem pendidikan nasional di Indonesia menanamkan nilai anti ilmiah, anti demokratis dan anti mengabdi kepada rakyat dan menjadikan pendidikan sebagai alat kebudayaan untuk mendukung kepentingan negara asing. Sehingga pendidikan Indonesia hanya melahirkan kaum-kaum intelektuil yang tidak berusaha memecahkan problem rakyat.
- Sempitnya lapangan pekerjaan dan tidak adanya pekerjaan yang layak, menciptakan pemuda penggangguran di Indonesia atau sebagian hanya bekerja serabutan. Demikian juga pemuda mahasiswa yang kerap menjadi penganguran dan tidak bekerja sesuai dengan keahlian disiplin ilmunya untuk mendukung pembangunan nasional yang mengabdi kepada rakyat.

C. Epilog
           
Dirasa penting untuk menelisik kembali pemaknaan Hari Kebangkitan Nasional  serta permasalahan-permasalahan pemuda mahasiswa pada era kekinian. Melihat dari kacamata sejarah bahwa lahirnya organisasi-organisasi yang bersifat nasional merupakan titik awal dari kebangkitan nasional untuk melawan kolonilalisme kala itu. Tentunya berbeda permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia era 1900 dan era kontemporer. Namun metode yang digunakan tidak jauh berbeda yakni dengan belajar, berorganisasi, dan berjuang.
Pentingnya untuk pemuda mahasiswa agar dapat menambah pengetahuan agar mampu menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi di sektor pemuda mahasiswa dan berusaha memberikan solusi atas masalah yang menimpa pemuda mahasiswa. Lalu tidak cukuplah kaum pemuda khususnya mahasiswa setelah pengetahuannya bertambah tentang teori-teori yang maju serta modern dapat semudah itu mendapat pengakuan hak-haknya yang selama ini dikerdilkan. Langkah kedua adalah dengan berorganisasi, karena dengan berorganisasi kita dapat memilki ruang-ruang untuk mempraktekan pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapat.

Apakah pengetahuan itu sudah baik atau masih belum tentulah dapat dilihat apabila mereka berpraktek langsung dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapat. Dalam organisasi sudah barang tentu memiliki tujuan yang harus ditunaikan, dengan dasar memiliki pengetahuan yang mumpuni serta kawan-kawan yang memiliki tujuan bersama dalam organisasi maka tentu tidaklah sulit untuk mencapai tujuan tersebut. Konsisten, dialektis, dan objektif dalam melangkah sudah hal wajib yang harus dikedepankan agar tujuan organisasi terwujud. Lalu, apakah sudah cukup hanya dengan memiliki pengetahuan lalu berorganisasi? Nampaknya tidak, agar problem pokok pemuda mahasiswa terwujud haruslah diperjuangkan. Berjuang disini dapat diartikan sebagai wujud pengabdian kita dari apa yang kita pelajari. Berjuang adalah ruang lain untuk menguji ilmu yang telah kita dapatkan. Tentu saja dalam berjuang kita tidak bergerak sendirian. Oleh sebab itu, sebelum berjuang perlu kiranya kita untuk berorganisasi. Maka, pentinglah pemuda khususnya mahasiswa untuk belajar, berorganisasi, dan berjuang agar hak-hak pemuda mahasiswa dapat terwujud.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perkara Constitusional Complaint


 Oleh : Wahyudi Prawiro Utomo

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu Lembaga Negara dalam lingkup kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana yang tertera pada Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Keberadaan MK sebagai salah satu buah reformasi yang menginginkan lebih tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia agar tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut diwujudkan dengan kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, yang sering kali disebut dengan judicial review. .
Perlunya penerapan judicial review untuk mewujudkan supremasi hukum sebagai suatu sistem yang hierarkis. Hal itu dilatarbelakangi oleh kenyataan masa lalu, ketika banyak terdapat penyimpangan konstitusi oleh undang-undang. Bahkan, tak sedikit penyelenggara pemerintahan yang dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden namun kesesuaiannya terhadap peraturan yang lebih tinggi dipertanyakan. Hal itu juga merupakan konsekuensi dari dianutnya prinsip Negara hokum dan supremasi konstitusi dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) yang juga merupakan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945.
Secara normatif, wewenang MK dalam melaksanakan judicial review terbatas pada pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Semangat MK dalam melaksanakan judicial review adalah untuk menjaga agar undang-undang yang berlaku pada masyarakat tidak mencederai hak konstitusional warga Negara Indonesia yang telah diberikan oleh UUD 1945. Selain dari undang-undang yang sekiranya dapat mencedarai hak konstitusional warga Negara, MK tidak berwenang untuk menguji. Berarti produk hukum kecuali undang-undang tidak bisa dilakukan judicial review oleh MK.
Produk hukum seperti undang-undang merupakan salah satu dari bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat Negara. Bentuknya dapat berupa TAP MPR/MPRS yang masih berlaku, undang-undang, peraturan perundang-undangan dibawah undag-undang, dan surat keputusan pejabat tata usaha negara. Apabila bentuk kebijakan yang telah disebutkan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengujinya.
Tidak hanya produk hukum yang dikeluarkan oleh kekuasaan eksekutif dan kekuasan legislative saja yang memiliki potensi menciderai hak konstitusional warga negara Indonesia. Bahkan putusan hakim sebagai kekuasaan yudikatif juga memiliki potensi serupa. Oleh karena itu segala tindakan pemegang kekuasaan memiliki potensi menimbulkan dampak bagi terciderainya hak konstitusional warga Negara Indonesia.
Dilihat dari permasalahan tersebut, MK sebagai satu-satunya lembaga Negara hanya diberikan wewenang untuk menjaga agar undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 agar tidak menciderai hak konstitusional warga negara. Sedangkan apabila produk hukum selain undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 tidak dapat diuji apakah memang bertentang dengan UUD 1945 atau tidak.
Hal ini terjadi karena konsep perlindungan hak konstitusional warga negara sebatas dengan judicial review oleh MK dan Mahakamh Agung (MA). Sedangkan di MA sendiri hanya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini menunjukan bahwa MA tidak melakukan pengujian dengan alat uji UUD 1945. Satu-satunya lembaga egara yang diberikan wewenang untuk menguji produk hukum dengan alat uji konstitusi hanyalah MK. Di Indonesia tidak diterapkan sistem constitutional complaint, yaitu suatu sistem untuk  menguji apakah ada pertentangan dari suatu produk hukum dari eksekutif, legislative dan/atau yudikatif dengan konstitusi. Dapat diartikan bahwa constitusional complain merupakan judicial review dalam arti yang luas, karena wewenang pengujiannya mencakup seluruh produk hukum di suatu negara.
Pembahasan
Wewenang MK sebagai penguji undang-undang terhadap UUD 1945 tidak dapat lepas dari aspek sejarah yang terkait dengan sikap politik pembuat undang-undang.  Mengingat hukum merupakan produk poltik sehingga oleh karenanya bisa saja undang-undang berisi hal-hal yang bertentangan atau konstitusi. Kemudian juga terdapat kekeliruan pada saat era orde baru, yaitu masuknya Keputusan Presiden dalam tata urutan perundang-undangan. Namun hal itu telah diluruskan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 Ayat (1) undang-undang tersebut menjelaskan tata hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1.     UUD 1945;
2.     TAP MPR;
3.     Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.     Peraturan Pemerintah;
5.     Peraturan Presiden;
6.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.     Perturan Daerah Kabupaten/Kota.

Salah satu wewenang MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan MA berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Kedua ketentuan ini menimbulkan sebuah konsekuensi terkait kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut.
MK secara normatif hanya dapat menguji undang-undang terhadap UUD. MA secara normatif hanya berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Oleh kaerna itu TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang bukan berada dibawah undang-undang, tidak bisa dilakukan judicial review oleh MA. Serta MK juga tidak berwenang untuk melakukan judicial review apabila dilihat dengan kaca mata normatif.
Hal ini yang menjadi salah satu kelemahan status quo dari norma hukum yang berlaku mengenai judicial review untuk menguji produk hukum terhadap  konstitusi. Namun bukan hanya permasalahan perihal pengujian TAP MPR, tetapi juga pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA.
MA sebagai lemabaga peradilan setingkat dengan MK, hanya menguji peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi dan perturan daerah kabupaten/kota terhadap undang undang. Hal ini menunjukan bahwa keberlakuan peraturan-peraturan tersebut dapat dicabut apabila bertentangan dengan undang-undang, sedangkan apabila orang yang mengajukan permohanan tersebut terciderai hak konstitusinya, maka MA tidak dapat melakukan pengujian.
            Tentunya tidak akan menutup kemungkinan bahwa peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tersebut secara keberlakuan tidak bertentangan dengan undang-undang namun langsung menciderai hak konstitusional warga negara. Maka akan lebih baik jika ada suatu lembaga yang dapat menguji hal tersebut. Padahal apabila MK membatalkan seluruh isi dari suatu undang-undang maka peraturan-peraturan pelaksana dibawahnya secara mutatis mutandis tidak berlaku lagi.
Semangat dari judicial review adalah agar hak konstitusional warga Negara dapat terjaga dengan baik. Hak konstitusional (constitutional rights) adalah hak-hak yang dijamin didalam dan oleh UUD 1945. Konstitusi menentukan apa yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan negara, yaitu melindungi hak-hak rakyat, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia. Tanpa adanya hak-hak tersebut, rakyat akan kehilangan kedaulatan sehingga kedudukan warga negara tidak meiliki arti sama sekali. Oleh karena itu, ketentuan jaminan perlindungan hak asasi sebagai manusia dan hak konstitusional sebagai warga negara adalah salah satu materi muatan konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terbatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 terasa belum cukup, sebab masih banyak keputusan penguasa (public authorities) termasuk peraturan pelaksana undang-undang, kebijakan maupun putusan pengadilan yang semestinya merupakan obyek pengujian di Mahkamah Konstitusi juga. Hal tersebut dapat berupa keluhan konstitusional (constitutional complaint) di mana setiap orang dapat mengajukan komplain terhadap dugaan atas kerugian hak konstitusional mereka akibat adanya putusan, kebijakan maupun peraturan per-undang-undangan yang bertentangan dengan Konstitusi.
Sebagai perbandingan, terdapat negara-negara lain yang telah menerapkan keluhan konstitusional (constitutional complain), salah satunya adalah Jerman. Dimana Jerman telah mengadopsi constitutional complain  dalam Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgerichtsgesetz). Penerapan constitutional complain dalam konstitusi jerman meliputi setiap keputusan penguasa (seperti hukum tertulis, tindakan administratif, dan putusan pengadilan) yang menciderai hak-hak dasar warga negara. Serta ada pemisahan antara konsep constitutional review dengan konsep constitutional complaint.
MK sebagai satu-satunya lembaga negara yang dapat menguji produk hukum dengan alat uji UUD 1945, tentu menjadi sorotan agar bisa menjadi penguji segala produk hukum terhadap UUD1945, dengan kata lain berwenang menerima permohonan constitutional complaint. Tentunya ini suatu langkah yang progresif bagi sistem hukum di Indonesia. Karena terjadi perubahan mendasar bagi kewengangan MK yang pada awalnya judicial review, menjadi lebih luas dengan kewenangan constitutional complaint.
Perkembangan hukum seperti itu adalah sebuah keniscayaan. Sejalan dengan ciri-ciri hukum progresif yang berasumsi bahwa hukum bukan merupakan institusi mutlak dan final, tetapi selalu dalam proses menjadi (law as a procees law in the making) yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dengan semangat pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, dan teori yang selama ini mendominasi dan dirasakan menghambat hukum dalam menyelesaikan persoalan.
Tentunya apabila dikemudian hari MK memiliki wewenang tersebut, maka karakter hukum Indonesia lebih bersifat populistik/ responsif. Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya akan lebih memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dengan adanya mekanisme constitutional complaint. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu masyarakat.
Dengan adanya wewenang constitutional complaint seluas-luasnya oleh MK maka produk hukum eksekutif, legislatif dan yudikatif yang sebelumnya tidak dapat diuji dengan alat uji UUD 1945 seperti TAP MPR dan  peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang akan dapat diajukan judicial review terhadap UUD 1945. Hal ini berarti juga terjadi perubahan terhadap wewenang MA untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenang tersebut dapat dihapuskan, kemudian seluruh wewenang judicial review berada dibawah kewenangan MK.
Kemudian produk hukum eksekutif yaitu tindakan formil yang bersifat individu berupa keputusan tata usaha negara dan tindakan materiil berupa tindakan bukan keputusan tata usaha negara juga dapat diajukan constitutional complaint kepada MK. Namun dengan syarat sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan karena putusan pengadilan tata usaha negara telah mengikat (inkraht). Selain itu prinsip freies ermessen atau diskresi menjadi penting sebagai panduan bagi pemerintah untuk mengambil suatu tindakan juga dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran hak konstitusional warga negara. Serta bentuk kebijakan-kebijakan lainnya dari kekuasaan eksekutif yang sekiranya akan berlaku dan belum diatur menganai pengujiannya terhadap UUD 1945 dapat dilakukan constitutional complaint oleh MK.
Konsekuensi yuridis apabila dianutnya constitutional complaint seluas-luasnya oleh MK maka putusan hakim pengadilan juga dapat diajukan constitutional complaint. Mulai dari pengadilan tingkat satu, tingkat banding hingga tingkat kasasi serta upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dapat diajukan permohanan constitutional complaint ke MK. Pada tahap ini dapat diprediksikan akan timbul problematika baru.
Dilihat dari kedudukan lembaganya, MK dan MA merupakan pemegang kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD 1945. Apabila MK memiliki kewenangan constitutional complaint, maka segala putusan dari MA dapat di uji apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Secara eksplisit ini menunjukan MK memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem peradilan di Indonesia. Karena berhak menguji setiap putusan hakim dalam lingkungan MA dan badan-badan peradilan dibawahnya. Sebuah konsekuensi yang logis apabila hanya suatu lembaga yang lebih tinggi dari lembaga tersebut yang dapat menguji produk hukum dari lembaga yang hendak dijui. Hal ini akan menimbulkan suatu kepastian hukum yang berlarut-larut tidak akan tercapai.
Mengingat putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang memutus bahwa upaya hukum luar biasa peninjauan kembali bisa lebih dari sekali telah banyak menimbulkan perdebatan. Walaupun secara prinsip memang upaya hukum luar biasa peninjauan kemabali hanya sekali adalah bertentangan dengan UUD 1945, namun dikaca mata hukum acara pidana hal tersebut menghambat kepastian hukum.
Selain itu, hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan setiap orang dari ganguan-ganguan diluarnya. Terkait dengan hal ini, dalam penegakan hukum perdata bertujuan untuk melindungi agar hak si debitur terpenuhi oleh kreditur serta agar kewajiban kreditur dapat berjalan dengan baik. Namun dengan adanya constitutional complaint maka kepastian untuk melindungi kepentingan debitur dan kreditur akan terganggu. Walaupun hal tersebut tidak akan menghentikan eksekusi, namun status dari putusan yang mendasari eksekusi tersebut dapat saja di batalkan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pola seperti ini juga akan terjadi dalam sengketa keputusan tata usaha negara atau tindakan eksekutif lainnya yang diputus melalui peradilan tata usaha negara.
Kesimpulan
Hukum memang selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dibutuhkan suatu terobosan hukum untuk menyelesaikan problem-problem yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meningat bahwa Indonesia memegang asas legalitas, sehingga memang dibutuhkan suatu pengaturan yang jelas. Namun bukan berarti hukum yang berlaku hanya yang tertulis saja, karena eksistensi hukum tidak tertulis juga masih diakui.
Terkait dengan hal tersebut constitutional complaint sebagai jalan keluar agar hak konstitusional warga negara terjaga dengan baik harus diatur secara tertulis. Hal ini menurut hemat penulis karena MK sebagai lembaga negara utama mendapatkan sumber wewenangnya dari UUD 1945. Dengan kata lain sumber kewenangannya harus bersifat atributif atau diberikan wewenangnya oleh pembuat/pengamandemen UUD 1945, mengingat bahwa tugas constitutional complaint merupakan tugas mulia yang berat demi menjaga keutuhan penenrapan konstitusi. Serta menjamin kepastian hukum agar MK dapat menjalankan constitutional complaint tanpa timbulnya perdebatan dalam masyarakat mengenai kewenangan MK.
Namun constitutional complaint  yang menjadi tugas MK menurut hemat penulis tidak termasuk produk hukum dari kekuasaan legislaif. Sebagaimana telah penulis uraikan bahwa dengan adanya pengujian terhadap putusan hakim MA dan peradilan dibawahnya akan menimbulkan problematika yang berujung pada ketidakpastian hukum. Oleh karena pengaturan mengenai constitutional complaint oleh MK harus dibuat secara jelas dalam Amandemen UUD 1945. Dimana kewenanganya hanya meliputi seluruh produk hukum legislatif dan eksekutif berupa seluruh peraturan perundang-undangan dan segala tindakan dari pejabat tata usaha negara yang tidak bersifat konkrit, individual dan final. Sedangkan produk hukum dari MA dan badan-badan peradilan dibawahnya tidak dapat di ajukan constitutional complaint.
Alasannya bahwa keputusan hakim yang telah mengikat merupakan hukum bagi para pihak dan supremasi hukum harus ditegakan. Kedua, dilihat dari kedudukan MK dan MA merupakan badan peradilan yang memegang kekusaan kehakiman dan tiap lembaga memiliki tugas dan fungsi masing-masing tidak ada lembaga kehakiman yang lebih tinggi dari lembaga kehikaman lainnya, serta hal ini akan labih memberikan kepastian hukum dan kemanfatan yang lebih baik. Ketiga, bahwa dalam memutus perkara hakim MA dan badan-badan peradilan dibawahnya terikat sumpah jabatan agar memenuhi kewajiban sebagai hakim berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Tentu hal ini menunjukan bahwa setiap hakim dalam memtus suatu perkara, secara tidak langsung juga ikut menegakkan nilai-nilai dalam konstitusi dan ikut berperan menegakan hukum dan keadilan di Indonesia.

Pengelolaan Zona Maritim oleh Pemerintahan Daerah


Oleh: Wahyudi Prawiro Utomo

Pengelolaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan mengelola dengan menggerakkan tenaga orang lain dan merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi.  Serta memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. zona adalah daerah dengan pembatasan khusus atau kawasan. Dalam Doktrin TNI AL yang diterbitkan tahun 2001, kata maritim diartikan berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan' Pengertian yang lebih luas, selain menyangkut sumber-sumber daya intern laut juga menyangkut faktor ekstern laut yaitu pelayaran, perdagangan, lingkungan pantai dan pelabuhan serta faktor strategis lainnya.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.  Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan Laut dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pengelolaan zona maritim merupakan urusan pemerintah yang dibagi denga urusan pemerintah daerah dengan desentralisasi. Kemudian pengertian maritim sendiri berdasarkan KBBI merupkan hal yang berkaitan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Berdasarkan Undang-Undang No.  23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan urusan kelautan dan perikanan merupakan urusan pemerintah pilihan yang menjadi tugas pilihan pemda berkenaan dengan keadaan geografis daerah yang bersangkutan. Berkaitan pula dengan politik luar negeri, pertahanan,dan keamananyang termasuk dalam urusan pemerintahan absolut (oleh pusat). Penentuan batas wilayah laut indonesia dengan negara tetangga merupakan bidang politik luar negeri yang diurus oleh pusat. Pertahanan dan kemanan wilayah laut indonesia juga diurus oleh pemerintah pusat. Namun untuk urusan pengelolaan zona maritim yang termasuk didalamnya  angkutan, pelabuhan, galangan kapal dsb  (Chandra Motik ) dan perikanan dikelola oleh pemerintah daerah. Namun dalam pelaksanaannya terdapat batasan-batasan tertentu, seperti jarak dan hasil usaha.
Untuk mengetahui lebih jelasnya, kita perlu memahami makna filosofis dari topik ini.

FILOSOFIS MARITIM
Historis negara kepulauan
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan jaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.

Negara maritim

Pakar Hukum Laut Hasjim Djalal mengemukakan bahwa negara maritime tidak sama dengan negara kepulauan. Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut, walaupun negara tersebut mungkin tidak punya banyak laut, tetapi mempunyai kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut, baik ruangnya maupun kekayaan alamnya dan letaknya yang strategis. Oleh karena itu, banyak negara kepulauan atau negara pulau yang tidak atau belum menjadi negara maritime karena belum mampu memanfaatkan laut yang sudah berada di dalam kekuasaannya. Sebaliknya, banyak negara yang tidak mempunyai laut atau lautnya sangat sedikit. Jika Indonesia ingin menjadi poros maritim dunia, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya menjadi negara maritim. Untuk menjadi Negara maritim, menurut Hasjim Djalal, Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan kekayaan dan ruang lautnya, antara lain: mengenal berbagai jenis laut Indonesia dengan berbagai ketentuannya; mengenal dan menghormati hak-hak internasional atas perairan Indonesia; mampu menghapus praktik ilegal dan mencegah segala macam bentuk pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan juga di daerah kewenangannya; mampu menetapkan dan mengelola perbatasan maritim dengan Negara tetangga dan menjaga keamanannya; mampu menjaga keselamatan pelayaran yang melalui perairan Indonesia; mampu memanfaatkan kekayaan alam dan ruang di luar perairan Indonesia seperti di laut bebas dan di dasar laut internasional. Singkatnya, negara maritime Indonesia selain harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa, juga harus mampu menghadirkan kekuatan keamanan laut yang memadai, semacam sea and  coast guard, guna menjaga keamanan perairan Indonesia dari berbagai tindak pelanggaran hukum.

FILOSOFIS PEMERINTAHAN DAERAH

Penerapan otonomi daerah ditujukan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas budaya dan lingkungan setempat, sehingga kebijakan public dapat lebih diterima dan produktif dalam memenuhi kebutuhan serta rasa keadilan masyarakat akar rumput, itulah idealnya aktualisasi dari otonomi daerah. Sebagaimana UU No.22/1999 tentang Daerah, yang lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda pada tahun 2001, dan telah diperbaharui dengan UU No.32/2004 dan diperbaharui dengan UU NO.23 NO 2014. UU ini merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia.

UU Ototnomi Daerah ini terlahir dari pandangan bahwa negara Indonesia (NKRI) yang mempunyai wilayah (kepulauan) sangat luas, lautan lebih luas dari daratan. Mustahil dikelola dengan baik melalui system pemerintahan yang sentralistik. Karena itu, diperlukan desentralisasi kekuasaan.

Melihat dari segi filosofis topik ini, maka penulis menyimpulkan urgensi dari pengelolaan zona maritim oleh pemerintah daerah.  Keberadaan Indonesia yang secara geografis terletak diantara 2 samudera merupakan potensi yang dapat digunakan bangsa ini.  Konsep negara maritim, mampu memanfaatkan laut, mempunyai kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut, baik ruangnya maupun kekayaan alamnya dan letaknya yang strategis. Pembagian kewenangan dengan pemerintah daerah mengenai pengelolaan zona maritim ditujukan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas budaya dan lingkungan setempat, sehingga kebijakan publik dapat lebih diterima dan produktif dalam memenuhi kebutuhan serta rasa keadilan masyarakat.

Penguatan dan pengembangan kemampuan pertahanan-keamanan nasional di laut, khususnya di wilayah perbatasan. Memakmurkan kehidupan masyarakat di seluruh wilayah perbatasan Indonesia melalui berbagai kegiatan pembangunan yang efisien, berkelanjutan dan berkeadilan atas dasar potensi sumberdaya dan budaya lokal serta aspek pemasaran.
Saat ini, ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani scktor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik-menarik kcpentingan. Egoscktoral Lintas pcmerintah mcndominasi, sedang infrastruktur kelautan tidak cukup untuk mengimbangi sektor lain sehingga laut semakin tcrtinggal. Upaya mendorong tata kelola dan pembangunan kelautan harus dinilai dari keberpihakan anggaran. Alokasi APBN dan alokasi APBD harus menambahkan indikator luas lautan. Selama ini tolak ukur alokasi anggaran mengacu pada luas daratan, jumlah penduduk, dan kontribusi ekonomi. Pertimbangan ekonomi kelautan selama ini sudah tercantum dalam rancangan (draf) UU Kelautan. Kemudian untuk mendukung visi Presiden Joko Widodo dibutuhkan pembangunan di bidang maritim yang sesuai dengan kemampuan lingkungan daerah masing-masing. Yang mana akan lebih baik jika pemda yang mengelola zona maritim.

Penulis setuju dengan pengelolaan zona maritim oleh pemerintah daerah, mengingat efektifitas dan efisiensi keuangan negara dan kinerja sdm terkait. Pemberian kewenangan bagi pemerintah daerah dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang dapat berkompeten dalam bidang kemaritiman agar sesuai dengan budaya masyarakat lokal masing-masing daerah. Serta pengembangan teknologi yang dapat disesuaikan dengan kemampuan lingkungan daerah terkait, mengingat pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan daerah terkait dan pengaturannya yang lebih sesuai.

Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan daerahnya secara lebih efektif, efisien dan partisipatif. Khususnya dalam bidang maritim, yang baru aja dicanangkan oleh Presiden Jokowi terkait Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Dalam penggalian potensi zona maritim tetap dibutuhkan peranan dari pemerintahan pusat dan juga daerah. Peran pemerintah puat adalah untuk menjaga pertahanan dan kemanan wilayah laut.  Pengelolaan zona maritim, dalam bidang pengankutan, pelayaran, dermaga, sumber daya air, dan perikanan, dapat dikelola oleh pemerintah daerah. Sebagai mana yang terdapat pada pasal 27 ayat 2 UU No.23 / 2014 tentang pemda. Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi.

Dengan desentralisasi, diharapkan jarak antara rakyat dengan pembuat kebijakan menjadi lebih dekat, baik secara politik maupun geografis, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan sesuai dengan hajat hidup rakyat. Artinya, pemerintah daerah yang pastinya lebih mengetahui kelemahan dan keunggulan daerahnya, baik dari sisi SDM dan SDA, dan pemerintah pusat diharapkan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang lebih efektif guna memakmurkan masyarakat.