Selasa, 30 Desember 2014

Momentum Hari Ibu, Serta Refleksi Pemaknaannya Era Kekinian

Minggu, 07 Desember 2014

Mari Berbincang Perihal Desa

Oleh : Ramdani Laksono

“Desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah ke kota”
(sepotong lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Desa)
       Geliat politik dan hukum sedang berkembang pesat dalam rezim yang baru seumur jagung ini. Salah satunya mengenai lahirnya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dengan lahirnya UU ini mengukuhkan bahwa eksistensi desa semakin diakui oleh Pemerintah, ini merupakan hal yang cukup mengembirakan. Bagaimana tidak, bahwa desa sejak lahirnya UU ini terkesan lebih mandiri dan berhak mengatur urusannya dalam menjalankan roda kehidupan baik hukum, politik, ekonomi, dan budaya. Namun kegembiraan itu nampaknya harus direnungkan, ditinjau, bahkan dipikirkan kembali mengenai apa yang sesungguhnya diatur dalam UU No 6 Tahun 2014 ini.

Konsep Desa

       Apa yang dimaksud dengan Desa ? Secara konseptual mengenai desa diatur dalam konstitusi pasal 18 b ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Lalu pengertian desa menurut Widjaja dalam bukunya yang berjudul Otonomi Desa adalah “sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat” (Widjaja, 2003: 3).
       Dengan melandasi dari kedua landasan pemikiran tentang desa dapat digambarkan bahwa yang dimaksud dengan desa adalah desa adat, karena konsep desa dari konstitusi merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki ciri khasnya masing-masing dalam hal budaya, pola hubungan sosial, dan lain-lain. Desa merupakan suatu komunitas yang berhak mengatur dirinya sendiri. Secara historis sebelum negara ini secara resmi berdiri terbilang pada tanggal 17 Agustus 1945, bahwa eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat atau desa adat jauh lebih dulu ada sebelum negara ini berdiri. Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli yang strategis, tetapi tetap dalam kerangka negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka desa mempunyai otonomi asli dan bukan otonomi pemberian layaknya pemerintah daerah dengan berdasarkan latar belakang historis.


Perihal Otonomi Asli yang Dimiliki Desa

        Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa desa mempunya otonomi asli yang bukan merupakan otonomi pemberian dari pemerintah pusat. Jadi, desa berhak mengatur dirinya sendiri perihal apapun mengenai jalannya roda pemerintahan di desa asalkan tidak mengganggu integ ritas negara Indonesia dan Pemerintah Pusat harus menghargai itu.
       Konsep otonomi yang dimiliki desa memang tidak mempunyai rujukan konsep ataupun batasan sampai sejauh mana yang dapat dibilang pasti. Karena itulah perjalanan otonomi asli desa dari awal berdirinya republik ini sampai hari ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Patut digaris bawahi kembali bahwa yang dimaksud dengan otonomi asli adalah otonomi yang utuh dan bukan pemberian dari pemerintah. Memang secara geografis keberadaan sebuah desa merupakan bagian wilayah dari kelurahan yang artinya sebuah desa berada dalam kekuasaan pemerintah daerah. Namun patut ditinjau kembali, memang secara geografis bahwa desa tidak terlepas dari rezim pemerintahan dearah namun desa memiliki sebuah otonomi asli yang bukan otonomi pemberian layaknya pemerintah dearah. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi.
       Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik. Namun berjalannya negara ini yang sudah melampaui setengah abad lamanya, nampaknya otonomi desa tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Adapun dengan dikeluarkannya UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, keberpihakan kepada desa hanya sekedar wacana hangat semata karena ini merupakan dampak dari tidak adanya rujukan konsep otonomi desa yang pasti, serta keberpihakan pemerintah yang hanya isapan jempol. Dengan diundangkannya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang merupakan aturan mandiri bagi desa yang sudah tidak lagi disatukan dengan UU Pemerintahan Dearah, patut dikaji ulang apakah memang sejalan dengan konsep otonomi desa atau hanya perwujudan syahwat politik para politisi untuk meraup simpati masyarakat.
       Patut dikaji kembali UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, UU ini mengkonstruksikan bahwa konsep otonomi asli masih dicampur adukan dengan mekanisme-mekanisme yang tidak murni tentang otonomi asli desa. Hal ini karena masih ada campur tangan dari pemerintah daerah. Beberapa halnya antara lain tentang pemilihan kepala desa, bahwa dalam UU ini tata cara pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serempak diseluruh kabupaten/kota, serta peraturan mengenai pelaksanaan pemilihannya ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan begitu maka tereduksilah konsep otonomi asli yang dimiliki oleh desa dan terkesan kembali menegaskan bahwa UU No 6 Tahun 2014 sama saja dengan peraturan perundangan lain yang mengatur desa dalam rezim pemerintahan daerah. Mengapa demikian? Dengan otonomi asli yang dimiliki desa yang telah disebutkan oleh penulis pada paragraf sebelumnya, dan dengan ketentuan seperti diatas tentang tata cara pemilihan kepala desa yang diatur dalam UU ini bahwa desa terkesan tidak memiliki otonomi asli.
       Karena semua pengaturan tentang tata cara pemilihan kepala desa ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan desa tidak memiliki kemandirian penuh dalam hal ini. Patut dipertanyakan juga apakah semua desa memiliki kesiapan yang sama untuk mengadakan pemilihan kepala desa, karena setiap desa memiliki adat yang berbeda-beda serta memiliki kondisi objektif yang berbeda pula. Serta konsep kepala desa tidak hanya sebagai kepala administratif dan jabatan struktural saja namun kepala desa juga harus dapat memelihara nilai-nilai yang luhur yang terdapat dalam masyarakatnya.
       Hal yang kedua adalah mengenai peraturan desa yang terdapat dalam pasal 69. Dalam beberapa hal misalkan peraturan desa mengenai anggaran pendapatan dan belanja desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa sebelum disahkan harus mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota. Dengan begitu, apakah UU No 6 Tahun 2014 dapat dibilang memperkuat otonomi asli desa?
       Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
       Berdasarkan alasan-alasan serta penegasan tentang otonomi asli desa yang diajukan oleh penulis maka, dengan dikeluarkannya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa memang bukanlah suatu hal yang urgent atau bermanfaat apabila melihat subtansi dari UU tersebut, yang jelas-jelas hanya mengaburkan konsep otonomi asli yang dimiliki oleh desa.
       Nampaknya kita harus konsisten terkait konsep otonomi asli yang diamanatkan oleh konstitusi serta melihat dari sisi historis mengapa lahir konsep otonomi asli yang dimiliki oleh desa yang tertera dalam konstitusi. Supaya tidak terjadi berbagai kerugiaan yang dialami oleh masyarakat desa seperti yang banyak terjadi dalam belakangan ini berbagai perampasan tanah-tanah adat oleh negara yang untuk kepentingan entah siapa.
       Misalnya saja yang terjadi di Desa Darmakaradenan. Tanah yang menjadi konflik yang sampai saat ini dikuasai oleh PT. Rumpun Sari Antan dan TNI selama belasan tahun yang pada awalnya merupakan tanah ulayat milik masyarakat desa sebelum Indonesia merdeka. Namun setelah merdeka dan pergantian rezim ternyata tanah ini dialihkan haknya menjadi tanah HGU dan dikuasai oleh sebuah PT sampai saat ini, yang membuat masyarakat setempat kehilangan tanahnya dan kebingungan untuk sekedar menyambung hidup. Kalau kita sedikit melihat UUPA, bahwa UUPA juga mengatur mengenai konsep otonomi asli desa namun karena banyaknya peraturan yang menjadi kanibal terhadap peraturan lainnya sehingga masyarakat desa cenderung dirugikan.

Simpulan

       UU desa tidak punya ketegasan dalam tujuan yg jelas, terkait otonomi desa pun tidak di akomodir didalamnya. UU ini sarat akan nafas-nafas politik dari golongan yang oportunis, yang haus akan popularitas. Padahal itu suatu hal yg penting jika berbicara masalah desa. Dan pada akhirnya, UU Desa tidak penting keberadaan nya.



(Penulis adalah mahasiswa FH Unsoed angkatan 2012, mengikuti UKM Lembaga Kajian Hukum dan Sosial dan Front Mahasiswa Nasional Ranting Unsoed)