Rabu, 29 September 2010

HUKUM : IDEOLOGI KELAS?


Oleh :
ANGGA AFRIANSHA.AR
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
d/a Kampus Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto
Jl. HR Boenyamin, Grendeng, Purwokerto
Awalan
Hukum merupakan seperangkat aturan dan peraturan yang dibuat untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang tertib dan berkeadilan, setidaknya itulah yang dirumuskan oleh banyak pakar hukum. Konsep hukum yang demikian juga selalu bertahan dengan adanya perkembangan zaman, namun tidak dapat dipungkiri konsep hukum yang demikian mengandung banyak kelemahan, ini terkait dengan hukum sendiri yang dibentuk oleh penguasa. Permasalahan yang amat penting kiranya untuk dijadikan bahan kajian utamanya dalam filsafat hukum adalah dasar mengikatnya hukum.
Permasalah ini demikian pelik, karena setidaknya banyak sarjana beranggapan bahwa hukum mengikat karena dibentuk oleh penguasa, atau hukum mengikat karena memang sistemnya dibangung dengan prinsip pemaksaan.
Setidaknya, pengkajian terhadap dasar mengikatnya hukum hingga saat ini menjadi polemik yang demikian berkembang, pengkajian ini kemudian memunculkan banyak aliran hukum, dicontohkan dengan aliran positivisme yang menyatakan hukum mengikat karena dinormakan dalam peraturan perundang-undangan, atau pun aliran utilitarian yang menyatakan hukum mengikat karena manfaatnya untuk menjaga ketertiban. Mengenai mengikatnya hukum ini, ada juga ahli yang berpendapat bahwa hukum mengikat karena dibentuk oleh penguasa, salah satunya Kelsen menyatakan hukum mengikat karena dibentuk dalam sistem tatanan pemaksa oleh penguasa,[1] yang kemudian harus dimurnikan dari kepentingan politik.
Mengenai pemahaman dasar mengikatnya hukum, sepertinya menarik sekali dikaji dari perspektif Marx, ini mengingat Marx konsisten menyuarakan ideologi kelas yang begitu dianutnya. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah seputar pengkajian dasar mengikatnya hukum dalam perspektif Marxian.

Filsafat Hukum Sebagai Bahan Kajian Mengikatnya Hukum
Filsafat adalah sebuah perenungan, setidaknya itu yang banyak dikatakan kaum akademisi, perenungan untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Filsafat adalah kecenderungan manusia pada kebijaksanaan, kecenderungan ini kemudian lebih ditonjolkan oleh para filsuf dengan menyajikan langkah metodis, namun demikian tiadalah satu pun langkah metodis yang dapat dijadikan pegangan baku untuk mengkaji sesuatu hal hingga sampai pada dataran hakikinya, oleh sebab itu dalam filsafat berlakulah ketentuan perenungan kebenaran yang dapat dilakukan dengan banyak cara.
Di dalam kehidupan hukum sendiri, terdapat sebuah kajian filosofis terhadap hukum, yaitu filsafat hukum. Filsafat hukum tugasnya adalah menjawab permasalahan yang paling substansial dalam hukum, salah satunya adalah menjawab pertanyaan apakah dasar mengikatnya hukum?
Dasar mengikatnya hukum dalam kajian filosofis dpat juga diberi pengertian lain, yaitu dasar ditaatinya hukum. Pentaatan manusia terhadap hukum ini kemudian dikaji dari sudut normatif sebagai landasan mengikatnya hukum.

Mengikatnya hukum Dalam Perspektif Marxian
Konsepsi hukum sebagai perwujudan kekuasaan sebagaimana yang diutarakan oleh Hobbes berperan penting dalam pemikiran Marx, agaknya Marx memang terpengaruh dengan filsuf materialis inggris ini.[2] Marx dan Engels dan juga seluruh gerakan Marxian memandang hukum sebagai bagian dari superstruktur ideologi yang mengemuka di atas realitas material sarana penguasaan produksi, karenanya hukum tidak berorientasi pada keadilan, tetapi merupakan sarana dominasi dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan kelas mereka. Dalam Communist Manifesto (1847) Marx dan Engels menjelaskan negara sebagai sebuah komite pelaksana kepentingan kaum borjuis.
Marx dan Engelss mendasarkan argumentasi mereka pada sebuah kepemilikan moda produksi manusia secara individu dan ini berkiatan erat dengan perkembangan filsafat hukum, yaitu dengan adanya pandangan Bodin, Althusius, Grotius, hingga Locke yang menyatakan bahwa kepemilikan pribadi tidak dapat diganggu gugat, demikian pandangan ini dikembangkan oleh Marx dengan substansi bahwa orang yang empunyai hak kepemilikan terbesar adalah orang yang bebas dan mendominasi kelas. Hukum hanyalah alat untuk melanggengkan kepemilikan dan dominasi.
Paham Marx dan Engels terhadap hukum tidak demikian penting untuk ada pada masyarakat nir-kelas yang mereka citakan, karena dalam masyarakat nir-kelas tiadalah suatu dominasi sehingga hukum tidak mengikat. Pandangan ini kemudian dapat dijadikan acuan bahwa hukum mengikat karena adanya dominasi moda produksi dari kaum borjuis terhadap kaum proletar, hukum mengikat untuk melindungi dominasi kaum borjuis, jika ini dikomparasikan dengan realita yang ada di Indonesia, agaknya terdapat kecenderungan untuk mengatak bahwa hal ini tepat, utamanya di zaman orde baru ketika hukum dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan dengan adanya tebang pilih.
Lebih lanjut Engels dan Marx menyatakan;
”cara produksi kapitalis kian mengubah mayoritas penduduk menjadi kaum proletar, di samping itu ia juga menciptakan kekuatan yang dengan resiko mengalami kehancurannya sendiri, dipaksa untuk melakukan revolusi. Selain mendorong kian dipercepatnya transformasi pada sebagian besar sarana produksi, yang sudah diisolasikan, menjadi milik negara, ia menunjukkan sendiri cara untuk melakukan revolusi ini. Kaum proletar merebut kekuasaan politik dan mengubah sarana produksi menjadi milik negara”.[3]

Pernyataan demikian secara tersirat memberikan arti bahwa nantinya akan terjadi revolusi yang dilakukan oleh kaum proletar sebagai akibat adanya dominasi dari kaum borjuis yang utamanya di bidang hukum. Kaum proletar akan merasa jengah dan marah, kemudian bersatu membentuk revolusi yang pada kahirnya akan menciptakan diktator proletariat. Dalam tahap final (masyarakat nir-kelas) kebebasan adalah hal utama, namun bukan dominasi akan tetapi persamaan yang diutamakan.
Pastinya dari pandangan Marx dan Engels, hukum itu berlaku mengikat karena hukum merupakan alat dominasi dari kaum borjuis untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan demikian berdasarkan perspektif Marxian, hukum berlaku mengikat dikarenakan hukum adalah alat kaum borjuis untuk mendominasi kaum proletar dan melanggengkan kekuasaannya, hukum itu kemudian mengikat karena kaum borjuis juga membentuk sistem pemaksa dalam hukum.

Rujukan :
Erwin, Rudy. 1979. Tanya Jawab Filsafat Hukum.cetakan Ke-3. Jakarta : Aksara Baru.
Friedrich, Carl Joahim.2008. Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Cetakan Ke-2. Bandung : Nusamedia. Ed: Raisul Muttaqien.
Kelsen, Hans.2007.Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung : Nusamedia. Ed : Raisul Muttaqien
Leyh, Gregory. 2008.Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik. Bandung: Nusamedia. Ed: M.Khozim
Nietzsche, Friedrich Wilhelm.2002.Beyond Good and Evil : Prelude Menuju Filsafat Masa Depan. Yogyakarta ; Ikon Teralitera



[1] Hans Kelsen. Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif. Hal.34-61.
[2] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2008, hal.181
[3] Ibid..hal 185.

PRIVASI WARGA VS NEGARA

Oleh :
ANGGA AFRIANSHA.AR
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
d/a Kampus Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto
Jl. HR Boenyamin, Grendeng, Purwokerto
email : Angga_mars@yahoo.com

Perampasan atas privasi warga, frasa ini nampaknya teramat tepat untuk menggambarkan fenomena beredar luasnya rekaman video porno yang diduga melibatkan Ariel dan Luna Maya serta Cut Tari belakangan ini. Alih-alih melindungi mereka sebagai korban, negara melalui aparatnya justeru terkesan hendak mengkriminalisasi ketiga pesohor yang terampas hak asasi atas kehidupan privatnya itu. Hak mereka sebagai warga negara yang seharusnya dilindungi teringkari tak saja oleh orang yang mengunggah video itu ke ranah publik namun juga oleh negara. Menarik dipertanyakan di sini  adalah tepatkah negara mengkriminalisasi warganya yang justeru menjadi korban?
Sesungguhnyalah instrumen komunikasi, maupun multimedia  diciptakan dengan tujuan untuk memudahkan kehidupan manusia. Telepon genggam dengan fungsi kamera dan perekam video didesain untuk menangkap momen-momen yang dianggap istimewa. Dalam konteks kasus video mirip para artis, rekaman terkait dimaksudkan sebagai kenangan guna kepentingan pribadi, tak sekali-kali dibuat untuk tujuan yang komersil sifatnya. Hukum, demikian Rousseau (Tanya, Simanjuntak, Hage, 2010:86),  merupakan tatanan publik, sementara keberadaan sejati manusia sebagai individu memiliki otonomi etis memiliki hak asasi, hak-hak dasar (fundamental rights) yang harus dilindungi negara. Dalam konstruksi teori perjanjian masyarakat (social contract) negara ada dibentuk masyarakat untuk melindungi masyarakat, sesuatu yang pada mulanya sebelum ada negara dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Dalam konteks rekaman video mirip Ariel, Luna, dan Cut Tari tersebut, ketiga pesohor tersebut teramat jelas menjadi korban. Privasi mereka sebagai individu dirusak oleh orang yang tak bertanggungjawab. Tak saja ketiganya, pelaku juga mempunyai kesalahan besar karena akibat perbuatannya, sesuatu hal pribadi tersebut menjadi terekspos dan diakses oleh begitu banyak orang yang belum tentu cukup dewasa untujk mengaksesnya. Efek negatif dari pemanggilan Ariel-Luna adalah terbentuknya stigma masyarakat bahwa mereka tidak bermoral, pantas dihukum, cacian, bahkan dimaki dan dampaknya lebih dari sekedar pidana yaitu citra buruk. Ibarat pepatah, habis jatuh tertimpa tangga. Ariel, Luna,dan Cut Tari menjadi korban untuk ketiga  kali: karena terampas haknya akan privasi oleh warga negara lain yang tak bertanggungjawab, karena kriminalisasi oleh negara, dan stigmatisasi negatif oleh masyarakat.
Setidaknya tiga hal yang patut dicermati dalam kasus video tersebut. Pertama, motif pembuatan video. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU  tidak memberikan larangan atau bahkan mengkriminalkan orang yang membuat video porno sekedar untuk dikenang berdua sebagai memorabilia. Kedua, terkait siapa yang bertanggungjawab terhadap penyebaran video porno tersebut. Tanggung jawab dalam perspektif hukum berarti siap apabila terjadi sesuatu untuk dituntut, digugat atau dipersalahkan dan ini tugas lembaga kepolisian untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab dalam penyebaran video panas belakangan ini. Ketiga, label yang muncul pada Ariel-Luna. Dua premis yang harus disikapi dari teori labeling yang dimunculkan Micholowsky (Nitibaskara, 2008:79) adalah; kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang; Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Reaksi masyarakat terhadap video Ariel, Luna, dan Cut Tari sebagian besar menempatkan korban dalam label orang jahat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari negara dan pencitraan dari negara yang memanggil mereka untuk dimintai keterangan padahal belum tentu orang yang berada di dalam video itu adalah ketiga orang pesohor tersebut.
Ambigu, itulah yang dapat disimpulkan dalam perlindungan hak asasi warga di negara ini.  Di satu sisi negara secara formal mengakui hak-hak warga akan haknya atas privasi, namun secara simultan memberangus hak mereka dengan ekses tindakan yang dilakukan lembaga berikut aparat penegak hukumnya. Alih-alih dilindungi sebagai korban, dalam kasus video mirip Ariel, Luna, dan Cut Tari citra kriminal (dan bukannya korban) berikut label negatif yang ‘terpasang’ dan hak privasi yang terdeprivasilah yang hegemonik. Sangat boleh jadi, akan tiba masanya di negeri ini keadaan di mana penikmatan hak atas privasi bukannya mendapat perlindungan yang kukuh, melainkan diingkari oleh negara dan dianggap sebagai nista.

Minggu, 26 September 2010

Refleksi Sebuah Stasiun

Bermula dari sebuah pertemuan, pertemuan kembali dengan seorang teman yang sudah 2 minggu tidak bertemu. Seorang yang gila dan saat ini bentuk kepalanya terlihat jelas dengan potongan rambut seperti bola golf. Tertawa, itulah pertama kali yang aku lakukan ketika melihatnya, candaan yang kemudian berujung pada sebuah realisasi rencana untuk duduk bersantai di stasiun tua kota Purwokerto.
Tiba di stasiun tua ini, sejenak aku melihat, memvisualisasikan topeng-topeng kehidupan, topeng ketenaran, topeng peradaban umat manusia yang terhentak akibat teknologi, akibat ekonomi, akibat sistem yang dibentuk untuk penindasan. Betapa pengkotak-kotakan umat manusia begitu terlihat dalam bayang semu miniature Indonesia. Negara ini penuh penjajahan itulah yang terlintas dalam benak pikiran kesadaranku, entah kesadaran semu atau pun kesadaran sistem, yang jelas stasiun ini dipenuhi manusia yang serba berbeda. Perbedaan yang tercipta karena adanya fungsi, gerak tubuh, posisi dan keadaan ekonomi. Penjual dagangan menjajakan panganan, borjuis kecil asik sendiri dengan jejaring sosialnya.
Sinisme yang terbentuk adalah betapa dunia memang membedakan, betapa dunia memperlakukan manusia dengan ketidakadilan karena kemampuan ekonominya. Pengkotakkan di stasiun ini sudah begitu kejam, hingga alat transportasi masa pun menunjukan fungsinya sebagai pembeda. Kapankah dunia yang penuh pembedaan dan busuk ini akan berakhir? Pertanyaan filosofis yang sebenarnya tidak perlu aku tanyakan itu pun muncul, pertanyaan yang penuh pembaharuan terhadap sistem kapitalis yang dibangun. Ketika manusia sudah sampai batas waktunya semua akan berubah, setidaknya itulah yang menjadi keyakinan diri ini.

Stasiun tua Purwokerto, 28 Agustus 2010.
Angga Afriansha.AR